꧌ꦱꦼꦩꦔꦠ꧀꧍ Semangat Ki Hajar Dewantara Jadi Inspirasi Penulisan Aksara Jawa .

Aksara

Rajapatni.com: SURABAYA – ꧌ꦩꦱꦶꦃꦄꦝ꧍ Masih ada saja pembelajar Aksara Jawa, yang mengikuti kelas ꧌ꦱꦶꦤꦲꦸꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ Sinau Aksara Jawa, dengan latar belakang karena adanya ikatan emosional dengan pendahulunya (leluhurnya). ꧌ꦄꦭꦱꦤ꧀꧍  Alasan ini disampaikan oleh beberapa peserta kelas Sinau Aksara Jawa gelombang 8, yang baru dimulai di ꧌ꦫꦸꦩꦃꦧꦲꦱ꧍ Rumah Bahasa Surabaya di komplek Balai Pemuda Simpang Surabaya pada Sabtu sore (27/9/25).

Kegiatan belajar ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa di Rumah Bahasa. Foto: nng

“Saya teringat mbah saya. Beliau suka menulis ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa. Tulisannya bagus sekali. Mendengar ada kelas belajar aksara Jawa, lalu saya mendaftar “, kata ꧌ꦥꦿꦩꦸꦝꦶꦠ꧍ Pramudita Paramadewi H., salah satu peserta.

Suasana yang nyaman mendukung proses belajar ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa. Foto: nng

Lainnya adalah Sufiyatni, anak Jakarta Barat, yang kini tinggal di ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya. Dia memiliki alasan serupa. Yaitu teringat kakeknya asal Sukoharjo, yang gemar ꧌ꦩꦼꦤꦸꦭꦶꦱ꧀꧍ menulis aksara Jawa.

Kelas Aksara Jawa ini ꧌ꦠꦼꦂꦧꦠꦱ꧀꧍ terbatas dengan 10 peserta. Alasannya demi efektivitas pembelajaran.

Para ꧌ꦥꦼꦱꦼꦂꦡ꧍ peserta ini mendapat kesempatan bisa belajar aksara tradisional Jawa di era modern yang dirasa langka dewasa ini. ꧌ꦕꦫꦧꦼꦭꦗꦂꦚ꧍ Cara belajarnya praktis sehingga memudahkan peserta dalam mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh ꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo.

 

꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫ꧍ Aksara & Budaya Jawa

“Saya ini bukan guru bahasa atau aksara Jawa. Saya ꧌ꦥꦼꦔꦗꦂ꧍ pengajar bahasa Inggris yang cinta aksara dan budaya Jawa karena itu adalah identitas saya”, terang ꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo, yang sekaligus sebagai pendiri ꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni.

Karenanya ꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo bisa mengkondisikan dan menyesuaikan diri dengan kontek ꧌ꦭꦶꦔ꧀ꦏꦸꦔꦤ꧀ꦧꦸꦢꦪ꧍ lingkungan budaya Jawa ketika mengajar ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa. Ia pun mengenakan busana ꧌ꦏꦼꦧꦪ꧍ kebaya dan ꧌ꦧꦼꦂꦙꦫꦶꦏ꧀꧍ berjarik.

꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo mengajar ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ Aksara Jawa dalam busana budaya Jawa: berkebaya  dan berjarik.Foto: nng

꧌ꦎꦫꦁꦭꦲꦶꦤ꧀꧍ Orang lain bisa saja berfikir, tanpa kebaya dan berjarik ꧌ꦠꦶꦝꦏ꧀ꦩꦱꦭꦃ꧍ tidak masalah ketika mengajar. Tentu ini masalah ꧌ꦥꦼꦚ꧀ꦗꦶꦮꦄꦤ꧀꧍ penjiwaan tersendiri dalam berbuat, yang setiap orang beda beda.

“Orang yang ꧌ꦧꦼꦭꦸꦩ꧀ꦠꦼꦂꦨꦶꦪꦱ꧍ belum terbiasa menulis kata “Balai”, /ꦧꦭꦻ/, biasanya terlupa menuliskan bunyi diftong /ai/ di depan LA /ꦭ/”, kata Ita, yang menganalogikan suatu ꧌ꦏꦼꦧꦶꦪꦱꦄꦤ꧀꧍ kebiasaan. Tapi kalau sudah terbiasa menulis, maka otomatis akan menyediakan ꧌ꦫꦸꦮꦁ꧍ ruang untuk aksara ꧌ꦝꦶꦥ꦳꧀ꦠꦺꦴꦁ꧍ diftong.

Ini bagai kebiasaan Ita dalam berbusana kebaya ketika berkontekstual budaya Jawa.

Pada ꧌ꦥꦼꦂꦠꦼꦩꦸꦮꦤ꧀ꦥꦼꦂꦠꦩ꧍ pertemuan pertama dari lima kali pertemuan, materi pelajaran adalah ꧌ꦥꦼꦔꦼꦤꦭꦤ꧀ꦄꦏ꧀ꦱꦫ꧍ pengenalan aksara Nglegena dan sandhangan serta pasangan. Termasuk membuka tanya jawab terkait dengan ꧌ꦫꦶꦮꦪꦠ꧀ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ riwayat aksara Jawa sebagai penguatan wawasan aksara Jawa. Ada peribahasa mengatakan “Tak kenal, maka tak sayang”. Maka pengenalan pada awal pertemuan adalah penting termasuk pengenalan praktis tentang ꧌ꦥꦼꦔ꧀ꦒꦸꦤꦄꦤꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮꦝꦶꦫꦤꦃꦥꦸꦧ꧀ꦭꦶꦏ꧀꧍ penggunaan aksara Jawa di ranah publik, seperti penggunaan aksara Jawa pada kantor kantor di lingkungan pemerintah kota ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya.

Belajar ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa yang menyenangkan. Foto: nng

“Nanti di pertemuan terakhir kita akan buat aksi charity literasi. Yaitu ꧌ꦩꦼꦩ꧀ꦧꦸꦮꦠ꧀꧍ membuat signage yang bertuliskan Aksara Jawa. Di kelas sebelumnya (SAJ 7), para ꧌ꦥꦼꦱꦼꦂꦡ꧍ peserta membuat dan memasang banner di Kedai Pulo, di ꧌ꦫꦸꦩꦃꦏꦿꦺꦪꦠꦶꦥ꦳꧀꧍ rumah kreatif Gyan’s, dan lain lain”, terang Ita.

Pemasangan signage pada tempat tempat publik ini sebagai kontribusi hasil ꧌ꦥꦼꦩ꧀ꦧꦼꦭꦗꦫꦤ꧀꧍  pembelajaran ke pihak lain agar hasil pembelajaran bisa ꧌ꦧꦼꦂꦩꦤ꧀ꦥ꦳ꦄꦠ꧀꧍ bermanfaat bagi publik.

 

꧌ꦱꦼꦱꦤ꧀ꦠꦶ꧍ Sesanti Ki Hajar Dewantara

Bisa saja ada kutipan kata kata bijak, misalnya ꧌ꦏꦸꦠꦶꦥꦤ꧀꧍  kutipan dari Ki Hadjar Dewantara yang di aksara jawakan lalu ꧌ꦝꦶꦥꦱꦁ꧍ dipasang di ruang kelas di ꧌ꦫꦸꦩꦃꦧꦲꦱ꧍ Rumah Bahasa.

꧌ꦠꦿꦝꦶꦱꦶ꧍ Tradisi setiap kelas, photo grup. Foto: nng

꧌ꦩꦶꦱꦭ꧀ꦚ꧍ Misalnya “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, atau “Setiap orang menjadi guru, ꧌ꦱꦼꦠꦶꦪꦥꦿꦸꦩꦃꦩꦼꦚ꧀ꦗꦝꦶꦱꦼꦏꦺꦴꦭꦃ꧍ setiap rumah menjadi sekolah” sangat pantas menghiasi dinding dinding Rumah Bahasa. Semboyan-semboyan itu ꧌ꦝꦶꦠꦸꦭꦶꦱ꧀꧍  ditulis dalam aksara Jawa, dimana kedua semboyan itu berbahasa Indonesia dan ꧌ꦧꦲꦱꦗꦮ꧍ bahasa Jawa.

Selfi demi ꧌ꦏꦼꦧꦼꦂꦰꦩꦄꦤ꧀꧍  kebersamaan. Foto: nng

Tidak terasa ꧌ꦥꦼꦭꦗꦫꦤ꧀꧍ pelajaran dan diskusi itu berjalan hingga pukul 18.00, yang mestinya selesai pada pukul 17.00 yang ꧌ꦝꦶꦩꦸꦭꦻ꧍ dimulai pukul 16.00. Melihat antusias peserta Sinau ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ Aksara Jawa, sudah saatnya memberi ruang sebagai wadah pembelajaran yang ꧌ꦱꦼꦏꦭꦶꦒꦸꦱ꧀꧍  sekaligus upaya pelestarian ꧌ꦮꦫꦶꦱꦤ꧀꧍ warisan budaya bangsa. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *