Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Berangkat dari hasil kelas online Voice of Tomorrow, yang diselenggarakan Kedutaan Besar India untuk Indonesia dan India News Desk pada Minggu pagi (14/9/25) dengan tema “Feature Writing”, didapat esensi bahwa penulisan feature berbeda dengan penulisan berita peristiwa (Dian Warastuti, Jurnalis senior Harian Waspada Sistem pemerintahan Surabaya Biro Jakarta).

Penulisan Feature harus bisa menyentuh dan berdampak. Karenanya penulisan feature harus memiliki persiapan matang. Penulis tidak memulai dari ruang hampa tetapi penulis harus sudah memiliki latar belakang pengetahuan (background of knowledge) tantang apa yang akan ditulis (disampaikan melalui tulisan). Berbeda dengan menulis berita peristiwa/kejadian, dimana penulis akan tahu bila sampai tujuan (TKP).

Dengan modal background of knowledge tertentu, penulis tinggal mencari penguatan sumber untuk mendukung isi cerita, yang akan ditulis sebagai pemantapan agar tulisan bisa menyentuh dan berdampak. “Feature: Menyentuh dan Berdampak”, begitu materi yang dibawakan Dian.
Feature: Melawan Lupa
Surabaya pernah berbentuk Kabupaten, yang bersifat tradisional. Buktinya adalah adanya sebuah gedung pendopo di jalan Genteng Kali Surabaya. Gedung ini dibangun pada 1914-1915 sebagai kantor kepala daerah Surabaya pribumi (Regent) di era Hindia Belanda.
Tercatat bahwa bupati Surabaya pada tahun 1914 adalah Raden Adipati Ario Nitiadiningrat, yang mulai menjabat pada 6 September 1912 dan bertugas selama 21 tahun hingga 31 Mei 1934.
Kala itu, di saat yang bersamaan, di Surabaya juga sudah ada pemerintahan Gemeente, yang kantornya ada di Ketabang, yang selanjutnya disebut Balai Kota. Surabaya sebagai Resort Gemeente (Haminte) secara resmi mulai berdiri pada tanggal 1 April 1906.
Residen-Bupati-Walikota
Sebelumnya, Surabaya merupakan bagian dari pemerintahan Karesidenan Surabaya, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang.
Di tingkat Karesidenan dipimpin oleh seorang Residen (R). Sedangkan di tingkat kabupaten ada dua pimpinan. Pimpinan untuk administrasi Kolonial adalah Asisten Residen (AR). Sedangkan untuk administrasi pribumi (bumi putera) dipimpin Bupati.
Ketika pemerintahan Surabaya berbentuk Gemeente, pemerintahan Kota (municipality), untuk kota dipimpin oleh walikota. Karenanya pada awal abad 20, di Surabaya ada pejabat Residen (Eropa), Asisten Residen (Eropa) dan Bupati (pribumi) serta Gemeente Walikota (Eropa).
Misalnya pada periode 1917-1922, ada Residen Adriaan Maurits Theodorus Baron de Salis. Juga ada walikota A. Meijroos (1916-1920) dan G.J. Dijkerman (1920-1926), serta ada Bupati Raden Adipati Ario Nitiadiningrat (1912-1934).
Pada masa jabatannya, Residen Surabaya pernah berkantor di Jembatan Merah, Walikota Dijkerman pernah berkantor di Balai Kota dan Bupati Aryo Nitiadiningrat pernah berkantor di Pendopo Gentengkali.
Dari ketiga kantor pemerintah itu, hanya Kantor Residen di Jembatan Merah yang sudah dibongkar. Kantor Walikota di Ketabang dan kantor Bupati di Gentengkali masih berdiri.
Pusat Pemerintahan Kabupaten Surapringga
Sebelum tahun 1920-an, pernah ada tempat tinggal dan sekaligus Kantor Bupati Surabaya, yang terletak di jalan Kebon Rojo. Gedung, yang dibangun pada 1840-an itu, pada tahun 1881 digunakan sebagai sekolahan HBS hingga tahun 1926, lalu digunakan sebagai kantor polisi, yang pada tahun 1928 dibongkar dan didirikan gedung baru untuk Kantor Pos Besar Surabaya.


Rumah Bupati Surabaya (d/h Surapringga) ini dibangun sezaman dengan pembangunan komplek pusat pemerintahan klasik Surabaya yang terdiri dari Masjid Surapringga, Alun Alun Surapringga dan Kauman pada tahun 1840-an.

Secara resmi Masjid, yang kini dikenal dengan nama Masjid Kemayoran itu diresmikan pada 1848. Lokasinya di Barat rumah Bupati dengan alun alun luas di antara Masjid dan Rumah Bupati. Di belakang masjid (Barat) terdapat kampung Kauman, tempat tinggal para kaum, yang memakmurkan masjid. Sekarang bernama Kemayoran Kauman.

Masjid dan Kantor Pos masih ada sebagai jejak sejarah Surabaya. Pun demikian dengan Kampung Kauman, yang sekarang kita kenal dengan Kemayoran Kauman.
Alun Alun Yang Hilang
Satu jejak penting, yang telah hilang dan berganti fungsi, yaitu Alun Alun Kabupaten Surabaya di Kemayoran. Sekarang lapangan alun alun Kabupaten Surabaya itu telah menjadi komplek bangunan sekolahan. Satu, sekolah bernama SMPN 2 Surabaya dan lainnya adalah Sekolahan Ta’miriyah.
Ketika lapangan depan masjid itu adalah alun alun, sebagaimana didapat dari sumber wereldmuseum.nl dan juga tertulis pada peta lama Surabaya (1920-an) dari sumber oldmapsonline.org, berarti lapangan depan masjid adalah alun alun Kabupaten Surabaya (d/h Surapringga). Ketika waktu terus berjalan dan berganti, lantas alun alun (milik pemerintah) berubah menjadi komplek sekolahan swasta (milik swasta), pertanyaannya adalah: kok bisa berganti kepemilikan?
Karena perubahan fungsi itu, yang pada gilirannya kemudian adalah hilangnya jejak sejarah Surabaya. Banyak warga Surabaya tidak mengetahui alun alun sejati Surabaya itu dimana.
Berikut foto foto, yang mengabadikan alun alun Surabaya. Ada yang mengabadikan ketika menjadi tempat bermain anak, pemanfaatan sebagai lapangan defile militer infanteri Hindia Belanda hingga jalan pintas warga.



Maka sebagai tetenger untuk melawan lupa sejarah Surabaya, diharapkan hanya masjid yang bisa menyelamatkan Ingatan Kolektif Bangsa itu ketika kelak Masjid direnovasi dengan menampilkan keserasian arsitektur klasik nya pada bangunan masjid yang baru.
Keklasikan Masjid Kemayoran itu tampak pada bentuk oktagonal, atap Meru berundak tiga, Bersaka Guru, berakulturasi arsitektur dan berliterasi aksara tradisional. (PAR/nng).