Gelar Aksara Pegon Sambut Hari Santri 2025.

Aksara

Rajapatni.com: SURABAYA – Aksara Pegon bukanlah aksara yang asing di lingkungan pendidikan pondok. Menulis Pegon di pesantren, santri mempelajari huruf Arab, yang disesuaikan untuk menulis bahasa lokal seperti Jawa, dengan tujuan untuk memahami dan memaknai kitab kuning. Prosesnya melibatkan pendampingan guru (ustadz/ustadzah), yang membaca kitab, sementara santri menuliskan terjemahan atau penjelasan dalam aksara Pegon di tepi kitab.

Arab Pegon sudah lama dipakai. Di Pondok Pesantren Bureng misalnya sebuah manuskrip tentang Surapringga (Surabaya) ditulis pada 1852 M. Namanya Manuskrip Bureng, yang kini tersimpan di Qatar National Library (QNL). Sekilas dikabarkan bahwa Surapringga adalah Negara Besar.

Cuplikan Manuskrip Bureng. Foto: ist

Menurut beberapa sumber disebutkan bahwa Aksara Pegon mulanya diperkenalkan oleh Sunan Ampel. Aksara Pegon adalah sistem penulisan menggunakan huruf Arab, yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa-bahasa Nusantara, terutama bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda.

Di beberapa negara di Asia Tenggara, Aksara Pegon juga disebut Aksara Jawi. Ada kata “Jawi” tersematkan dalam istilah itu.

Aksara Jawi disebut demikian karena istilah “Jawi” (جاوي) berasal dari bahasa Arab, yang digunakan oleh bangsa Arab untuk merujuk pada kepulauan di Asia Tenggara, termasuk wilayah yang sekarang dikenal sebagai Nusantara dan Malaysia.

Istilah ini kemudian diadopsi dan digunakan oleh masyarakat Melayu, sehingga tulisan yang berbasis aksara Arab ini pun disebut sebagai aksara Jawi atau aksara Melayu. Malaysia mengenalnya itu adalah aksara Jawi.

Aksara Pegon atau aksara Jawi adalah salah satu dari aksara tradisional di Nusantara. Hingga sekarang penulisan aksara Pegon masih digunakan, terutama di lingkungan pesantren sebagai sarana untuk memahami dan menuliskan kitab-kitab kuning (kitab klasik berbahasa Arab) dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia.

Selain itu, aksara Pegon juga digunakan dalam konteks budaya dan pendidikan tertentu sebagai warisan intelektual dan identitas kultural, meskipun penggunaannya terbatas dan cenderung tidak dikenal oleh masyarakat umum di luar komunitas santri.

Aksara Pegon digunakan untuk memagari bahasa Arab atau Bahasa Alquran. Foto: ist

Sebagai warisan budaya Nusantara, keberadaannya layak dilindungi hukum. Aksara adalah intangible (warisan tak benda) karena aksara itu sendiri adalah sistem simbol, yang mewakili bahasa, yang merupakan bagian dari tradisi lisan dan ekspresi manusia, serta dapat mengacu pada penggunaan bahasa melalui simbol tertulis, seperti yang tertulis dalam beberapa daftar warisan budaya takbenda di Indonesia.

Upaya pelestarian tidak hanya digunakan dalam proses pembelajaran manual, tetapi juga melalui digitalisasi aksara pegon. Misalnya dalam sebuah kongres aksara Pegon (2022) yang bertajuk “Mengawal Peradaban Melalui Digitalisasi Aksara Pegon” adalah upaya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi.

Tahun lalu (2022), menurut Kementerian Agama, Aksara Pegon dikongreskqn dengan tajuk “Mengawal Peradaban Melalui Digitalisasi Aksara Pegon”. Ini adalah Kongres Aksara Pegon Pertama.

Sebuah halaman aksara Arab dan Pegon. Foto: ist

Peringatan Hari Santri pada 22 Oktober adalah momen untuk mengenalkan kembali Aksara Pegon kepada publik umum bahwa Pegon adalah aksara Nusantara.

Hari Santri berlatar belakang sejarah dari Surabaya, Jawa Timur. Jawa Timur adalah rumah bagi pondok pesantren, maka layak jika pengenalan kembali aksara Pegon itu digelar di Surabaya, Jawa Timur. (PAR/nng).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *