Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Dari Surabaya, yang dikenal sebagai kota heterogen dan modern serta kosmopolitan, keluar gagasan menulis aksara Jawa se-Jawa. Ini terkesan anomali tapi bisa saja terjadi. Kota Surabaya memang tumbuh dari sebuah entitas desa kecil, sebuah desa di tepian sungai (Naditira Pradesa). Kala itu namanya sesuai penulisan pada prasasti Canggu 1358 M adalah Syurabhaya (berani menghadapi bahaya).
Kini setelah lebih dari 650 tahun telah berkembang menjadi daerah modern, yang heterogen. Menjadi kota metropolitan besar, yang berstatus sebagai ibukota provinsi Jawa Timur. Meski demikian, Surabaya tetap menjaga keasliannya, bagai sebuah peribahasa Jawa “kacang gak ninggal lanjaran”, yang memiliki arti bahwa perilaku, sifat, atau kebiasaan anak tidak jauh berbeda dengan orang tuanya, atau dalam bahasa Indonesia sering dianalogikan dengan peribahasa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Sifat ini tentu harus ada yang menjaga. Jika tidak, maka “anak akan lupa terhadap orang tua”.
Literasi Aksara Jawa Telah Lama Ada di Surabaya

Bahwa tradisi literasi Surabaya adalah bahasa dan aksara Jawa, termasuk aksara Pegon dalam bahasa Jawa. Pegon adalah aksara Arab (Hijaiyah) yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, atau Melayu, yang kemudian dikenal juga sebagai aksara gundul atau Arab gundul atau Pego.

Langka
Diakui bahwa penggunaan dan penulisan aksara tradisional dewasa ini, seperti aksara Jawa, semakin langka karena beberapa faktor, termasuk kurangnya pengajaran di sekolah, kesulitan dalam penulisan sehari-hari dibandingkan aksara Latin, dan persaingan dengan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.
Penulisan aksara tradisional adalah ingatan kolektif karena pada masa lalu masyarakat Nusantara menggunakan praktik praktik penulisan aksara daerah. Kini menulis dengan menggunakan aksara daerah menjadi langka, tenggelam oleh penulisan dengan menggunakan aksara asing seperti latin dan aksara dunia lainnya.

Untung masih ada pihak pihak yang masih punya peduli terhadap penggunaan aksara daerah meski umumnya bersifat dekoratif. Hal itu disampaikan oleh Unicode Consortium. Oleh karenanya, hingga saat ini aksara Jawa lebih sering digunakan sebagai elemen hiasan atau simbolik daripada sebagai sistem penulisan fungsional sehari-hari.
Meskipun masih diajarkan di sekolah dan terdapat pada beberapa penanda jalan atau gedung, penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari sangat terbatas, sehingga menyebabkan minimnya masyarakat yang mampu membaca atau menuliskannya secara utuh.
Sosialisasi
Gerakan gerakan harus diinisiasi untuk lebih mensosialisasikan penggunaannya sehari hari. Harus ada dorongan dan stimuli sebagai langkah awal. Ini harus ada intervensi pemerintah, yang bisa mengimbangi adanya geliat kesadaran masyarakat yang memang masih sangat terbatas.
Masyarakat atau komunitas harus berjalan bersama pemerintah karena aksara daerah adalah identitas bangsa. Undang undang mengamanatkan perlindungan identitas bangsa.
Perlindungan identitas bangsa di Indonesia ini diatur oleh Undang-Undang sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Meski sesungguhnya Aksara Daerah (Nusantara) sendiri secara spesifik belum termuat dalam Undang Undang.
Sekali lagi, meskipun ada undang-undang, yang mengatur tentang kebudayaan, seperti UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, namun undang-undang tersebut belum secara eksplisit menyebutkan dan mengatur secara rinci mengenai aksara-aksara daerah Nusantara sebagai subjek hukum tersendiri.
Karenanya melalui penguatan pentingnya mempraktikkan penulisan aksara daerah (tradisional) akan menjadi tangga penguatan diaturnya aksara Jawa dalam Undang Undang sebagai Object Pemajuan Kebudayaan (OPK). (PAR/nng)