Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Tidak ada pahlawan tanpa kejuangan berarti bahwa perjuangan adalah syarat mutlak untuk meraih predikat pahlawan. Seseorang tidak bisa disebut pahlawan jika tidak melalui proses perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan.
Ungkapan “Tidak ada pahlawan tanpa kejuangan” menekankan bahwa menjadi pahlawan bukan hanya tentang mendapatkan gelar atau pengakuan, tetapi juga tentang proses pengorbanan diri dan perjuangan untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
Hal itu sama halnya dengan menjadi sang juara bukan hanya mendapat gelar pemenang tetapi tentang berlatih dan berlatih untuk mencapai kemenangan. Lantas bagaimana seharusnya berlatih itu?
Keberhasilan itu serupa dengan suatu kelulusan sekolah, bagaimana sang pelajar harus tekun belajar agar mendapat nilai yang bagus sebagai standar kelulusan.
Perjuangan bisa beragam bentuknya, tidak selalu identik dengan pertempuran fisik seperti perang untuk kemerdekaan pada 1945. Perjuangan bisa juga perjuangan dalam bidang pendidikan, kemanusiaan, seni, dan lain sebagainya. Dari proses berjuang inilah lahir pahlawan (kepahlawanan). Karenanya ada istilah Pahlawan Olahraga, Pahlawan Ekonomi dan Pahlawan Pendidikan.
Perjuangan dan Kepahlawanan adalah satu Paket, Dwi Tunggal. Dwi Tunggal, dalam konteks Indonesia, merujuk pada ikatan kuat antara dua tokoh, yang saling melengkapi dan memiliki peran penting dalam sejarah negara, terutama pada masa awal kemerdekaan. Tidak bisa dikatakan bahwa Hatta ada di dalam Soekarno atau sebaliknya. Dalam teks proklamasi saja dituliskan “atas nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta”.

Istilah Dwi Tunggal memang paling sering dikaitkan dengan hubungan antara Soekarno dan Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai dwitunggal yang memimpin proklamasi kemerdekaan.
Dwi Tunggal memang menggambarkan dua individu/unsur dengan karakter dan latar belakang yang berbeda, namun memiliki visi dan tujuan yang sama untuk memajukan bangsa.
Pun demikian dalam mencapai cita cita pembangunan kota Surabaya, yang diatur dalam peraturan daerah (Perda), dimana harus ada dua unsur perjuangan/kejuangan dan Kepahlawanan. Dua unsur ini harus jelas disebutkan. Keduanya penting. Perjuangan/kejuangan adalah proses. Kepahlawanan adalah hasil. Adalah satu paket Proses dan Hasil, Perjuangan dan Kepahlawanan.
Kita sedang memasuki bulan Agustus, bulan kemerdekaan, lantas apa yang bisa dipetik dan diteladani dari bulan ini. Yaitu perjuangan dan kepahlawanan, bekerja dan hasil. Ibaratnya “No Gain Without Pain” alias “Jer Basuki Mawa Bea”. Tidak boleh hanya ada diksi “Besuki” saja atau “Gain” saja.
Sama halnya, jika sebagai tuntunan kemudian hanya ada diksi “Pahlawan” saja. Dalam Raperda yang sedang digodok oleh DPRD Kota Surabaya bahwa ketika ada “Kepahlawan” harus ada “Perjuangan atau Kejuangan”.
Orang, yang masih umum dan awam, akan memandang keduanya kejuangan dan kepahlawanan adalah sama atau serupa. Oleh karena itu, mereka akan manut saja dengan salah satu kata saja baik “kepahlawanan” dan “kejuangan” saja. Tetapi tidak dengan orang, yang sudah paham atas dua kata itu “kejuangan” dan “kepahlawanan”. Bahwa masing masing memiliki kandungan yang patut diteladani.
Sama halnya Soekarno dan Hatta yang patut diteladani. Itu sama halnya dengan nilai nilai kejuangan dan nilai nilai kepahlawanan, yang patut diteladani dalam menjalan roda pembangunan Surabaya, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, Perda.
Dulu, kejuangan dipakai merebut kemerdekaan. Sekarang kejuangan dipakai untuk mensukseskan Pembangunan.
Bung Karno : “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”
Ingat, selera penjajah adalah bahwa “sejak jaman dulu sampai sekarang selalu ingin sikap kejuangan kita lemah dan bahkan tidak ada kejuangan“.
Kondisi ini bagaikan pihak penjajah yang selalu takut dengan kata “Bersiap! dan Merdeka“.(PAR/nng).