Rajapatni.com: Surabaya (5/5/24) – SEMANGAT para pembelajar (siswa) Aksara Jawa di Surabaya dalam kelas Sinau Aksara Jawa, yang digelar ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni Surabaya, terus menyala dan berkobar. Di antara para pembelajar itu adalah ekspatriat Jepang dan Amerika. Lainnya adalah peserta dari Surabaya dan sekitarnya. Mereka hadir dalam kegiatan kolaborasi budaya yang diselenggarakan olèh ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni yang bekerjasama dengan Konjen Jepang di Surabaya di Muséum Pendidikan Surabaya di jalan Genteng Kali 10 pada Sabtu (4 Mei 2024).

Semangat para ꦥꦼꦩ꧀ꦧꦼꦭꦗꦂ pembelajar dan pegiat aksara Jawa itu terwujud dalam bentuk menulis aksara Jawa ala Jepang. Bahkan aksi kebudayaan itu mendatangkan dua warga Jepang, yang piawai dalam seni menulis aksara Indah, yang umum disebut Shodo dalam tradisi Jepang atau kaligrafi yang umum kita kenal.
Mereka adalah Yoko Terakawa dan Kota Nakagome. Kehadiran dua warga Jepang ini atas undangan ꦮꦏꦶꦭ꧀ꦏꦺꦴꦚ꧀ꦗꦺꦤ꧀ꦗꦼꦥꦁ Wakil Konjen Jepang di Surabaya, Ishii Yukata, yang dalam acara itu juga mengajak serta istri, Mei Ishii, dan anak, Ryuta Ishii. Kolaborasi menulis aksara Jawa ala Jepang ini semakin menarik perhatian dengan hadirnya peserta Sinau Aksara Jawa asal Amerika, John Pierce. John juga mengajak anaknya.

Hadir dalam acara antar bangsa ini adalah A Hermas Thony, yang dalam keséharian menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya. Thony merasa perlu hadir dalam ꦏꦺꦴꦭꦧꦺꦴꦫꦱꦶ kolaborasi budaya antar negara itu karena Wakil Konjen Jepang di Surabaya adalah representasi pemerintah Jepang di Surabaya.
“Konjen Jepang yang bertugas di Surabaya adalah representasi negeri Jepang, maka saya harus datang atas nama pemerintah kota Surabaya”, kata Thony, tokoh ꦥꦼꦁꦒꦼꦫꦏ꧀ penggerak aksara Jawa di Surabaya, yang sekaligus Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya.
Selama kurang lebih 2 jam, semua yang hadir dalam acara itu mendapatkan kesempatan dan pengalaman baru menulis aksara Jawa dalam tradisi Jepang. Bahkan ada yang berpakaian Kimono seperti yang dikenakan ꦆꦠꦯꦸꦫꦗꦪ Ita Surojoyo. Sementara Wakil Konjen Jepang Ishii Yutaka dan anak mengenakan pakaian tradisional Jawa.


Sementara sebagai kebutuhan tulis, peralatannya menggunakan perangkat dari Jepang yang umum digunakan dalam tradisi Shodo. Menurut Ishii Yutaka dalam tradisi Shodo tidak hanya sekedar menulis, tapi ada ꦥꦼꦭꦶꦧꦠꦤ꧀ pelibatan rasa dalam budaya Jepang. Misalnya secara manual ketika membuat tinta dari arang, dengan cara menggosokkan pada alat dalam satu set perangkat Shodo yang dicampur sedikit air. Di situlah ada proses persiapan diri berupa konsentrasi sebelum menulis dengan cara membuat tinta.
“Arang padat ini selalu ada dalam perangkat set Shodo, meski dalam set ini sudah disediakan tinta cair yang siap pakai”, jelas Mei Ishii, istri Wakil Konjen Jepang di Surabaya.
Sementara itu, Ishii Yutaka menambahkan bahwa cara memegang ꦏꦸꦮꦱ꧀ kuas juga ada caranya.

“Begini, kalau pegang kuas, posisi kuasnya harus berdiri tegak supaya tinta turun ke bawah ke ujung kuas”, jelas Ishii sambil memperagakan ketika Ita Surojoyo sedang mempraktikkan menulis Aksara Jawa ala Jepang.
Dengan bertempat di ruang ꦩꦸꦱꦺꦪꦸꦩ꧀ꦥꦼꦤ꧀ꦝꦶꦣꦶꦏꦤ꧀ muséum Pendidikan yang klasik, semua hadirin berkesempatan menulis Aksara Jawa ala Jepang. Pengunjung muséum, yang kala itu mengetahui kegiatan kolaborasi budaya Jawa dan Jepang, dapat juga bergabung. Misalnya ada lima mahasiswa arsitektur Universitas Petra dan dua mahasiswa UINSA Surabaya.

Mereka tidak hanya melihat dan Mempraktikkan menulis Aksara Jawa ala Jepang tapi juga memahami arti kolaborasi dalam penulisan Aksara Jawa. Yaitu sebagai upaya ꦥꦼꦊꦱ꧀ꦠꦫꦶꦪꦤ꧀ pelestarian aksara Jawa dan kerjasama antar bangsa.
“Ya, Jepang kan juga punya Aksara sendiri dan masih bertahan dan digunakan hingga sekarang, meski negaranya maju”, kata salah seorang mahasiswa UINSA.
Dari perhelatan budaya itu, betapa komunikasi dua arah antar peserta ꦭꦶꦤ꧀ꦠꦱ꧀ꦧꦸꦣꦪ lintas budaya dan bangsa yang terdiri dan berasal dari Jawa, Batak, Timor Timur, Amerika dan Jepang berjalan harmoni dengan fokus Aksara Jawa.


Jika Jepang, sebuah negeri yang pernah luluh lantak akibat perang di tahun 1945, akhirnya bisa bangkit kembali dalam waktu singkat dan menjadi negara super modern, tapi aksaranya tidak hilang. ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦼꦥꦁ Aksara Jepang di tengah kemajuan, justru menjadi tuan rumah yang baik.
Itulah mengapa Aksara Jawa harus bersanding dengan Aksara Jepang untuk bersama mengisi ruang ꦥꦼꦂꦄꦣꦧꦤ꧀ꦒ꧀ꦭꦺꦴꦧꦭ꧀ peradaban global sekarang dan masa depan.

Dalam ꦏꦼꦧꦼꦂꦱꦩꦄꦤ꧀ kebersamaan itu seluruh peserta penulisan aksara Jawa ala Jepang berpose bersama dengan memamerkan hasil karyané, Hasil tulisan menjadi souvenir.
“Tidak hanya sebagai souvenir, nantinya Aksara Jawa harus bisa berperan lebih jauh sebagai bentuk bentuk identitas bangsa”, pungkas Thony. (nanang PAR).