Gedung Singa Dalam Acara Resonance of Light, Terbuka Terbatas.

Cagar Budaya

Rajapatni.com: SURABAYA – Mendapat kabar dari Ketua RT di Jalan Mliwis, Ricky Setiono, bahwa Gedung Singa di jalan Jembatan Merah 19 Surabaya dibuka untuk umum dalam acara Resonance of Light mulai tanggal 20-28 November 2025 adalah sebuah kabar gembira. Acara ini digelar oleh IFG Life, yang merupakan anak perusahaan PT. Jiwasraya, yang semula mengelola gedung ini.

Mengapa menjadi kabar gembira?

Ketika gedung Singa masih dalam penguasaan PT Jiwasraya pada kisaran tahun 2022, gedung ini ditawarkan dijual melalui lelang. Mendengar kabar lelang, muncullah kekhawatiran jika gedung ini jatuh ke tangan orang yang kurang menghargai nilai nilai cagar budaya, maka gedung ini bisa berubah bentuk baik di bagian luar maupun dalam.

Di tengah kekuatiran itu, ada seseorang yang kelihatannya dermawan, yang bermukim di Jakarta. Namanya Rudolf Samar. Ia mendengar dan tertarik untuk memiliki aset itu. Tidak hanya satu aset di jalan Jembatan Merah 19 saja, tapi semua aset PT. Jiwasraya yang akan dilelang. Yaitu berjumlah 22 aset. Di Surabaya ada 3. Yaitu Gedung Singa, Gedung Nahrain di jalan pahlawan dan di Jalan Arjuna. Lainnya tersebar di Solo, Yogyakarta, Jakarta dan Bandung serta Bali. Rudolf Samar memiliki kekayaan yang jumlah digit NOLnya susah dihitung. Ia membuktikan dengan mengcopy lembar saham dan tabungan yang ada di luar negeri. Yang bersangkutan memiliki saham di Freeport termasuk memiliki simpanan di beberapa Bank di Eropa.

Karena penjualan aset PT Jiwasraya itu harus melalui proses lelang, maka Rudolf Samar membuat surat kuasa untuk seorang pegiat sejarah di Surabaya agar bisa mengikuti lelang dan dengan tujuan khusus agar bisa mengikuti pergerakan harga yang ditawarkan.

Tidak cuma itu, bahkan seorang pejabat di PT Jiwasraya Jakarta diundang di kantornya di Jakarta, dengan tujuan untuk menawar semua aset yang dilelang itu dan akan dibeli semua. Pegiat sejarah dan cagar budaya yang namanya dipakai untuk mengikuti lelang itu merasa gaket. Salah seorang perwakilan pegiat Surabaya pun diundang ke Jakarta untuk menyaksikan proses rencana jual beli itu.

Ketika mengikuti proses lelang itu, maka diketahui bahwa ada beberapa nama dalam lelang itu. Diantaranya ada yang memiliki rencana akan merubah bangunan.

Mengetahui ada pihak peserta lelang yang rencananya akan merubah bentuk bangunan, maka pegiat sejarah Surabaya, yang namanya masuk dalam daftar nama peserta lelang itu, membuat tulisan tulisan di media yang dikelolanya yang intinya memberitakan fakta fakta yang tidak menguntungkan bagi siapa pun yang akan menang dan mengelola gedung itu.

Fakta tidak menguntungkan itu adalah bahwa tidak adanya fasilitas parkir dan berita berita yang menurut para pedagang bunga di depan gedung bahwa mereka sering melihat kejadian kejadian aneh pada gedung itu. Bahkan dikatakan oleh penjaga gedung bahwa ketika memasuki jam jam Maghrib, orang tidak berani di dalam gedung.

Kabar itu memang bukan berita burung. Pengalaman pegiat sejarah yang mengikuti proses lelang bahkan pernah mengalami kejadian janggal ketika melakukan liputan berita pada suatu sore di suatu hari. Ia pernah merasakan kehadiran sosok astral di bagian belakang gedung.

Semua berita tentang kabar tidak menyenangkan itu ditulis di berita online dan berita online itu disebarkan. Bahkan ada seorang jurnalis dari Jakarta yang membaca artikel itu dan berkomentar jika menulis artikel agar menghindari berita berita yang menakutkan dan tidak menguntungkan.

Penulisan itu memang sengaja dibuat agar siapapun calon pembeli menyadari betapa tidak menguntungkannya memiliki aset itu dan akhirnya lelang pun gagal. Entah apa yang mendasari kegagalan itu. Pada hal ada pihak dari Jakarta, yang memiliki rencana untuk memiliki semua aset tanpa melalui lelang, alias membeli semua aset.

 

Lelang Gagal

Lelang pun gagal. Penjualan juga tidak terjadi. Akhirnya upaya mempertahankan gedung dari kekuatiran jatuh ke tangan pihak yang tidak mengerti dan kurang menghargai sejarah berhasil.

Sejak itu hingga dibukanya Kota Lama Surabaya pada 2023, gedung Singa tetap terlihat seperti gedung yang terbengkalai. Kurang diperhatikan oleh pengelolanya. Sampai sampai perawatan yang berupa pengecatan dan pemotongan pohon yang tumbuh liar pada badan gedung dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya.

Protest lelang karena tidak menawarkan terlebih dahulu ke pemerintah daerah. Foto: doc

Upaya perlindungan lainnya agar gedung tidak dilelang adalah bahwa upaya lelang itu melanggar aturan karena pengelola tidak menawarkan terlebih dahulu ke pemerintah kota Surabaya. Ringkasnya banyak cara dilakukan untuk menjaga dan melindungi gedung itu dari kekuatiran.

Artikel tentang gedung Singa menjadi bagian dari konten buku Berlage di Nusantara. Foto: nng

Cara cara ini mendapat perhatian dari pegiat dan enthusiast gedung Berlage di Belanda dan Hongkong. Mereka menghubungi sang pegiat cagar budaya itu, lalu mereka punya cara untuk menjaganya. Upaya mereka dalam mempertahankan adalah dengan menulis riwayat HP Berlage, sang arsitek gedung. Tulisan pegiat Surabaya, yang bersifat advokatif, itu menjadi bahan yang akhirnya dimuat dalam buku yang diberi judul “BerlagediNusantara”.

Buku Berlage di Nusantara. Foto: nng

Resonance of Light.

Acara Resonance of Light di dalam gedung Singa mulai 20 hingga 28 November 2025 ini memberi jawaban bahwa Gedung Singa masih mendapat perhatian.

Kegiatan ini melegakan banyak pihak, terutama orang orang yang selama ini ingin masuk tapi tidak bisa. Maklum harus minta izin ke Jakarta. Kini publik berkesempatan masuk dan melihat ruangan.

Dengan mengusung tema “Honoring the past, Protecting the Future”, tampak kesan pengelola ingin menjaga nilai nilai di Gedung Singa ini. Ya, itu harus, sebagaimana yang diupayakan oleh pemerhati cagar budaya Surabaya.

 

Terbuka terbatas. Hanya terbuka untuk lantai bawah dengan jumlah kunjungan yang terbatas juga. Foto: nng
Tampak keaslian gedung Singa ketika ditawarkan melalui lelang. Foto: doc

Sayang gedung berlantai dua ini terbuka terbatas. Lantai dua masih tertutup untuk umum. Hanya lantai satu yang dimanfaatkan untuk acara Resonance the Light.

Tampak pemandangan yang kontras di dalam ruangan Gedung Singa. Foto: rik

Ada plus minus dari acara ini. Sebenarnya orang tertarik untuk masuk karena ingin melihat keaslian interior dan detail arsitekturnya.

Tampak ruangan yang lama. Foto: doc

Akhirnya acara ini masih terkesan masih sekedar menggunakan ruangan untuk kebutuhan acara. Dekorasi dan penataan stand sangat kontras dan kurang serasi dan selaras dengan arsitekturnya.

Tampak hiasan luar gedung dimana gaya modern disematkan pada gaya lama. Foto: nng

Termasuk dekorasi di bagian eksterior (luar). Ada kesan kontras antara gaya lama dan gaya modernnya.

Penulis pada Kamis siang (20/11/25) mengunjungi dan ingin masuk tetapi tertahan di luar karena pengunjung sudah penuh sesuai jumlah yang tertera pada aplikasi. Untuk melihat bagaimana suasana dalam ruangan, menulis mendapat beberapa foto dari RT setempat. Maklum penulis sudah beberapa kali masuk ke dalam dalam tugas tugas peliputan dan kunjungan sejarah. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *