Aksara Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA: Book Launch dalam acara “Tribute to Wieteke Van Dort” ꧌ꦧꦼꦂꦭꦔ꧀ꦰꦸꦁ꧍ berlangsung sederhana tapi sangat bermakna di Food Traffic Radio Suara Surabaya pada Jumat malam (7/11/25). ꧌ꦈꦟ꧀ꦝꦔꦤ꧀꧍ Undangan yang datang memang tidak terlalu banyak tapi sangat meriah. Ada live musik oleh Celia Noreen and her Band, ada gelak tawa, ada goyang tubuh seiring dengan ꧌ꦄꦭꦸꦤꦤ꧀꧍ alunan lagu rancak ceria dan ada beragam suara bahasa bahasa yang ꧌ꦧꦼꦂꦧꦺꦝ꧍ berbeda.

Maklum ꧌ꦧꦼꦧꦼꦫꦥ꧍ beberapa undangan dalam acara yang digelar oleh Puri Aksara Rajapatni itu memang beberapa pejabat negara sahabat yang berkantor di Surabaya dan juga beberapa ꧌ꦥꦼꦗꦧꦠ꧀꧍ pejabat pemerintah kota Surabaya terkait dengan object aksara jawa. Mereka adalah Konsul Kehormatan India Manoj Bhat, ꧌ꦮꦏꦶꦭ꧀꧍ Wakil Konjen Jepang Ishii Yutaka, sekretaris Taiwan Economic and Trade Organisation (TETO) Bertram Liu, Kadis Pendidikan ꧌ꦯꦹꦫꦧꦪ꧍ Surabaya Yusuf Masruh, Ketua Pansus Raperda Pemajuan Kebudayaan Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya dr. Zuhrotul Mar’ah ꧌ꦱꦼꦂꦡ꧍ serta undangan lainnya.

꧌ꦏꦼꦩꦼꦫꦶꦪꦲꦤ꧀꧍ Kemeriahan pada malam itu langsung pecah ketika Celia Noreen and her Band membuka rangkaian acara ꧌ꦝꦼꦔꦤ꧀꧍ dengan hits nya “Ke Surabaya” dan disusul oleh tembang populer yang pernah dipopulerkan Wieteke Van Dort “Geef Mij Maar ꧌ꦤꦱꦶꦒꦺꦴꦫꦺꦁ꧍ Nasi Goreng”.
Ketika menyanyikan nomor ini, vokalis Celia Noreen dibackup oleh suara Michiel Eduard, ꧌ꦥꦿꦺꦴꦝꦸꦱꦼꦂ꧍ produser musik dan pencipta lagu untuk Wieteke Van Dort. Duet suara Celia dan Michiel pas. Pada bagian refrain, yang rampak itu, diikuti oleh para ꧌ꦲꦝꦶꦫꦶꦤ꧀꧍ hadirin yang ikut menyanyi.
“Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei,
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij”.

Michiel Eduard dalam sambutan singkatnya mengatakan bahwa penerbitan buku itu ꧌ꦱꦸꦝꦃ꧍ sudah lama menjadi angan angan Wieteke Van Dort di semasa hidupnya. Tapi belum kesampaian untuk menerbitkannya. Untuk ꧌ꦩꦼꦭꦚ꧀ꦗꦸꦠ꧀ꦏꦤ꧀꧍ melanjutkan angan angan itu, akhirnya diwujudkan Michiel Eduard.
꧌ꦱꦼꦩꦼꦤ꧀ꦠꦫ꧍ Sementara itu Ita Surojoyo, sebagai transliterator dari bahasa Belanda ke dalam aksara Jawa, ꧌ꦩꦼꦔꦠꦏꦤ꧀꧍ mengatakan bahwa ada nama nama tokoh dalam cerita yang merupakan ide Michiel untuk lebih membumikan dengan ꧌ꦧꦸꦝꦪ꧍ budaya Jawa.

Proses kreatif dalam buku itu adalah usulan penggunaan ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa sebagai upaya untuk memberikan makna budaya Jawa terhadap buku yang ꧌ꦩꦼꦚ꧀ꦗꦝꦶ꧍ menjadi harapan Wieteke Van Dort.
꧌ꦝꦭꦩ꧀꧍ Dalam momen sambutan itu, gaya Michiel yang bagai anak band membuat suasana ringan dan cair. Apalagi dia ꧌ꦩꦼꦔ꧀ꦒꦸꦤꦏꦤ꧀꧍ menggunakan bahasa Jawa ala Surabaya, yang Egaliter.
“Saya ini Indo. ꧌ꦱꦼꦥꦫꦸꦃꦗꦮ꧍ Separuh Jawa. Separuh Belanda. Bagi saya Indo adalah identitas. Saya bukan murni Belanda dan saya juga bukan ꧌ꦩꦸꦂꦤꦶ꧍ murni Jawa. Saya Indo”, tegasnya.
Ada ꧌ꦏꦼꦧꦔ꧀ꦒꦄꦤ꧀꧍ kebanggaan tersendiri menjadi Indo bagi Michiel dan bagi www warga Indo lainnya. Karenanya ia pun ꧌ꦊꦧꦶꦃ꧍ lebih suka dipanggil Indo daripada disebut “bule”.

Dengan berkolaborasi bersama ꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni, ada sebuah wadah untuk untuk berekspresi kreatif oleh kedua belah pihak ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda Surabaya. Ya Michiel adalah seniman seperti halnya almarhum Wieteke Van Dort dan ꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni adalah pegiat budaya aksara Jawa.
Dalam ꧌ꦏꦼꦱꦼꦩ꧀ꦥꦠꦤ꧀꧍ kesempatan itu pula, ꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo, yang mewakili Puri Aksara Rajapatni berterima kasih kepada para hadirin yang telah mensupport ꧌ꦏꦼꦒꦶꦪꦠꦤ꧀꧍ kegiatan Puri Aksara Rajapatni dalam upaya pemajuan aksara Jawa, misalnya dari ꧌ꦏꦼꦝꦸꦠꦄꦤ꧀꧍ Kedutaan Besar India untuk Indonesia dan kantor Konjen Jepang di Surabaya.
“Terima kasih kepada ꧌ꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦃ꧍ pemerintah Kota Surabaya dan ibu Ishii mewakili keluarga Jepang, kantor Kedutaan Besar ꧌ꦅꦟ꧀ꦝꦶꦪ꧍ India yang memberi kesempatan belajar Bahasa di India” kata Ita.

Hal senada juga disampaikan ꧌ꦄ꧉ꦲꦺꦂꦩꦱ꧀ꦠꦺꦴꦤꦶ꧍ A. Hermas Thony selaku Pembina ꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni.
“Selain dengan Belanda, kolaborasi juga dengan ꧌ꦗꦼꦥꦁ꧍ Jepang dan India yang sama sama memiliki harapan membuat film dokumenter tentang ꧌ꦥꦼꦂꦗꦭꦤꦤ꧀꧍ perjalanan kronologis aksara Jawa hingga aksara Pallawa yang pernah berkembang di Nusantara”, jelas Thony.
Launching buku Bung Bebek en de Princess ini sekaligus sebagai simbol kolaborasi mandiri antar ꧌ꦎꦂꦓꦤꦶꦱꦱꦶ꧍ organisasi di Belanda dan Surabaya.

Karenannya pelestarian aksara Jawa di Surabaya juga tidak lepas dari intervensi pemerintah kota ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya. Hadir mewakili pemerintah kota Surabaya adalah Kepala Dinas Pendidikan Yusuf Masruh dan Ketua Pansus Raperda ꧌ꦥꦼꦩꦗꦸꦮꦤ꧀꧍ Pemajuan Kebudayaan Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya, dr Zuhrotul Mar’ah.

Podcast
Launching buku Bung Bebek en de Princess ini ꧌ꦱꦼꦩꦏꦶꦤ꧀꧍ semakin bermakna dengan disediakannya program Podcast di Lantai Dua, yang turut mengumandangkan ꧌ꦥꦼꦱꦤ꧀꧍ pesan peluncuran buku cerita anak berbahasa Belanda Beraksara Jawa.
Buku, yang ꧌ꦧꦼꦂꦗꦸꦝꦸꦭ꧀꧍ berjudul Bung Bebek en de Princess ini adalah hasil tulisan Wieteke Van Dort, yang kemudian dibukukan oleh Michiel Eduard dari Stichting Anak Mas dan Stichting Pertolongan Belanda. ꧌ꦧꦸꦏꦸ꧍ Buku ini tidak diperjual belikan tetapi dibagikan cuma cuma dan disumbangkan ke ꧌ꦥꦤ꧀ꦠꦶꦄꦱꦸꦲꦤ꧀꧍ Panti Asuhan Don Bosco Surabaya. Selain memberikan buku gratis, yayasan di Belanda itu juga mendonasikan santunan ꧌ꦧꦼꦂꦟꦶꦭꦻ꧍ bernilai 3.000 Euro yang diserahkan langsung kepada perwakilan Don Bosco.

Peluncuran buku ini ꧌ꦱꦼꦏꦭꦶꦒꦸꦱ꧀꧍ sekaligus menandai terbentuknya jaringan internasional ꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni dan Stichting Anak Mas di Belanda.

꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni sebagai komunitas yang bergerak di bidang budaya literasi tradisional berkontribusi dalam mengenalkan ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa ke level global. Untuk itu Belanda melalui Stichting Anak Mas menjadi pintu gerbang masuk wilayah ꧌ꦌꦫꦺꦴꦥ꧍ Eropa.
Pesan pesan itu ꧌ꦝꦶꦱꦩ꧀ꦥꦻꦏꦤ꧀꧍ disampaikan dalam program Podcast Suara Surabaya yang berada di Lantai Dua. Ita dalam ꧌ꦏꦼꦱꦼꦩ꧀ꦥꦠꦤ꧀꧍ kesempatan di studio podcast kagum dengan adanya hiasan di studio yang bertulis “Harapan” dalam ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa. Ita pun membacakan dengan mengeja tulisan aksara Jawa itu.
”Ini berbunyi Ha, Ra, Pa dan Na yang diberi pangkon dan akhirnya berbunyi Ha-Ra-Pan”, jelas Ita.

Pesan harapan itu mendukung makna peluncuran buku. Bahwa dari peluncuran buku ꧌ꦄꦏꦤ꧀꧍ akan ada harapan untuk saling menjaga dan ꧌ꦩꦼꦊꦱ꧀ꦠꦫꦶꦏꦤ꧀꧍ melestarikan budaya dan aksara Jawa.


꧌ꦱꦼꦧꦒꦻ꧍ Sebagai cinderamata setiap undangan diberikan satu buku “Bung Bebek en de Prinses” (PAR/nng)
