Amenangi Wurare Jadi Benteng Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Amenangi Wurare adalah sebuah agenda budaya dalam peringatan prasasti yang tertulis pada lapik Arca Joko Dolog. Yaitu prasasti Wurare, yang tertulis pada 1211 Saka atau tepat pada 21 November 1289 Masehi.
Dalam memaknai isi prasasti itu digelarlah peringatan selama 7 hari yang dimulai pada 15 November hingga 21 November 2025.
Mengawali serangkaian agenda budaya di tengah gemerlap dan riuhnya kota Surabaya, adalah acara Maca Aksara. Yaitu sebuah kegiatan untuk memahami isi prasasti yang ditulis dalam aksara Kawi dan berbahasa Sansekerta.
Pembacaan aksara Kawi itu dibedah oleh Iwan Agung Prasetya, yang kemudian dilanjutkan oleh Nanang Purwono, Ketua Puri Aksara Rajapatni, yang mengajak hadirin untuk mengenal pentingnya mengenal aksara tradisional (Nusantara).
Kegiatan ini dilaksanakan persis di plataran Arca Joko Dolog di komplek Taman Apsari Surabaya pada Sabtu malam (15/11/25) dan dihadiri oleh sekitar 70 hadirin yang terdiri dari anggota abdi dalem Eyang Joko Dolog dan umum.

Iwan Agung Prasetyo menjelaskan bahwa prasasti Wurare ini ditulis dalam aksara Kawi dengan bahasa Sansekerta, yang merupakan bahasa keagamaan. Dalam prasasti itu menyiratkan pesan upaya mempersatukan kembali wilayah wilayah yang terpecah.
Semangat ini relevan dengan semangat kejuangan Surabaya dalam upaya mempertahankan kedaulatan yang terjadi pada November 1945, yang semangat itu terbalut dalam peringatan Wurare, Amangeti Wurare, yaitu memperingati prasasti itu sendiri yang tertanggal pada 21 November 1289, peringatan Hari Jadi Majapahit yang jatuh pada 12 November 1293 serta Hari Pahlawan pada 10 November 1945.

Menurut Anam, Ketua pelaksana Peringatan, bahwa Amangeti Wurare ini adalah acara budaya yang terbuka untuk umum untuk mengenali keberadaan Arca Joko Dolog di tengah kota Surabaya. Arca ini adalah benda bersejarah yang kaya akan nilai yang layak diketahui oleh masyarakat Surabaya.
Semangat Persatuan dan Kejuangan
Selain menyimpan nilai nilai keagamaan, arca yang secara umum dikenal sebagai arca perwujudan Raja Kertanegara ini juga menyimpan semangat kejuangan dan persatuan. Arcanya sendiri membawa sifat Siwa Budha.

Siwa-Buddha adalah konsep sinkretisme (percampuran) antara ajaran agama Hindu (dewa Siwa) dan Buddha yang pernah berkembang di Indonesia, terutama pada masa Kerajaan Majapahit.
Dari sifat itulah maka masyarakat Surabaya dan lainnya perlu mengetahui adanya konsep persatuan dan wawasan Nusantara dalam wilayah kepulauan Nusantara ini. Sehingga datang dan berkunjung ke Arca Joko Dolog adalah bagian dari spot tujuan wisata di kota Surabaya.
Perlu juga dipahami bahwa Object wisata Joko Dolog ini menyimpan nilai keagamaan, budaya, dan kebangsaan yang siapapun layaknya menghormati.

Sementara itu Nanang Purwono dari Puri Aksara Rajapatni, yang juga hadir sebagai pembicara menggarisbawahi bahwa ada peradaban literasi leluhur yang terukir pada lapik Arca. Yakni adanya aksara Jawa Kuna atau Kawi yang menunjukkan kecerdasan leluhur.
Dalam perkembangannya Aksara Kawi berkembang secara lokal, yang di Jawa bertransformasi menjadi Aksara Jawa Baru atau disebut Carakan. Sehingga mengenal aksara Jawa adalah cara mengenal peradaban leluhur agar generasi sekarang tidak terlepas dari peradaban leluhur.
Terkait dengan makna nilai nilai kejuangan dan Kepahlawanan dalam peringatan Amenangi Wurare ini bahwa kegiatan budaya ini adalah wujud benteng yang bisa melindungi nilai nilai dan identitas bangsa Indonesia.
“Jika dulu pada November 1945, rakyat Surabaya melindungi kedaulatan bangsa, sekarang kita melalui gelaran Amenangi Wurare adalah upaya mengisi kedaulatan dan melindungi identitas bangsa. Ini adalah wujud perjuangan kita” jelas Nanang Purwono, Ketua Puri Aksara Rajapatni.
Mengenal kembali peradaban literasi aksara Jawa baik itu aksara Jawa Kuna (Kawi) maupun aksara Jawa baru adalah sama agar aksara tradisional ini tidak punah oleh zaman. (PAR/nng)
