Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Permainan atau olahraga tradisional Patil Lele sudah dikenal di Surabaya, tapi dikhawatirkan menjadi tidak kekal. Dulu ketika masih di bangku Sekolah Dasar pada kurun waktu 1974-1979, salah satu mata olah raga adalah Kasti. Tapi di sela waktu tunggu, giliran, siswa siswi ada yang bermain Patil Lele. Pihak sekolah memiliki alat permainannya. Yaitu berupa sepasang stik panjang untuk pemukul dan stik pendek untuk Object yang dipukul.

Pada masa itu permainan dan olahraga tradisional itu masih umum. Pada masa sekarang anak anak seusia SD sudah tidak kenal lagi apa itu permainan Patil Lele. Maklum, model dan object permainannya sudah berbeda dan lebih modern.
Perbedaan utama pada permainan anak dulu dan sekarang terletak pada media, interaksi, dan tempat bermain. Dulu dominan dengan permainan fisik di luar rumah dengan alat sederhana (kayu, batu) dan interaksi sosial langsung (gobak sodor, lompat tali, congklak, Patil Lele).
Sementara sekarang didominasi dengan gadget, game online/offline, dan media sosial, yang menciptakan kecenderungan menyendiri seperti video game, game online.
Permainan anak tempo dulu (tradisional) punya banyak manfaat seperti melatih otot motorik kasar & halus seperti lompat tali, bekel, meningkatkan kecerdasan kognitif (hitung, strategi congklak), membangun keterampilan sosial (kerja sama, empati), membentuk karakter (kejujuran, tanggung jawab), menumbuhkan kreativitas & daya ingat, serta melestarikan budaya bangsa.
Karena itu permainan ini layak dilestarikan sebagaimana tersebut dalam 10 Object Pemajuan Kebudayaan, UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Selain itu Undang Undang ini selaras dengan permainan, yang memang secara formal diwadahi dalam organisasi KORMI (Komite Olahraga Masyarakat Indonesia) dan PORTINA (Persatuan Olahraga Tradisional Indonesia). Apalagi di Surabaya, Olahraga dan Kebudayaan berada dalam satu unit kedinasan. Yaitu Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata. Maka pengorganisasiannya jauh lebih mudah.
Apalagi Perda Pemajuan Kebudayaan Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya akan banyak diampu oleh Disbudporapar Kota Surabaya.
Maka siapapun, yang memegang tampuk organisasi Olahraga Tradisional ini baik KORMI maupun PORTINA memiliki payung hukum dalam menjalankan aktivitasnya.

Kota Surabaya layak mempertahankan olahraga tradisional itu dengan atas nama bangsa sebelum pada akhirnya Patil Lele lebih diakui oleh negara lain seperti Spanyol, yang memang sudah memainkan Patil Lele. Bukankah akan lebih baik mengadu (mempertandingkan) tim Patil Lele Spanyol vs Surabaya. Menang atau kalah tidak jadi masalah. (PAR/nng)
