Aksara Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Menara itu menjulang tinggi di puncak lembah Bimasakti Farm, di Claket, Pacet, Kabupaten Mojokerto. Namanya Menara Wilwatikta. Dari puncak menara lembah Bimasakti menghijau kebun kacang tanah dan panggung miniatur peradaban Majapahit. Ada pendapa, rumah rumah dara gepak, pelinggih batu alam di pelataran berumput, dan masjid serta taman alami yang layak buat sang puteri.

Jalanan desa menuju ke kompleks Bimasakti sangatlah subur. Kiri-kanan jalan adalah wadah kebun jagung dan terong serta pepohonan buah seperti alpukat.

Belum lagi kandang kandang peternakan ayam dan kambing yang menghidupi. Ada pula industri tahu. Tak ketinggalan tanaman liar, yang menambah indahnya jalan desa.

Gunung berdiri menjulang gagah melindungi alam desa, yang tak lepas dari irama gemericik air pegunungan yang mengalir jernih.

Di sana terbayang sang puteri berbalut kain sambil bermain sejuknya air mengalir, yang entah sampai kemana. Aliran air itu bagai alur langkah sang puteri yang tak bosan menikmati indahnya semesta.


Disini kutabur dan kutebar pesona aksara dalam berbagi dengan para sesama pamong budaya. Mereka berdatangan dari penjuru Jawa seperti Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Pasuruan, Blitar, Jombang dan daerah lainnya di Bumi Nagari Wilwatikta.

Penganugerahan Karya Budaya.
Menjelang petang gemerlap lampu di Pendapa mulai menyala. Sarasehan Budaya dan Malam Apresiasi Karya Pelestarian Budaya Generasi Muda Tingkat Nasional 2025 segera digelar.

Gending Gending Jawa pun mengisi malam di lembah pegunungan itu. Jiwa Jawa mengalun dengan semilir angin di lembah bumi Wilwatikta. Dingin pun mulai menyelimuti. Busana budaya Jawa juga mengisi ruang yang beratap langit. Ada yang bersurjan hitam, berlurik, berblangkon, berkebaya, bersanggul dan berselendang. Semua tampak nyata di depan mata, kecuali Sang Putri yang tidak kasat mata. Ia gemerlap di tengah gelap.

Senyumnya lebar berbinar seiring dengan alunan irama gending yang ditabuh lirih dan sayu, bagai pertanda cara yang menunjukkan kesopanan dan kerendahan hati, sebagai gambaran jati diri yang tidak ingin merepotkan dan mengganggu orang lain.
Ia pun menari bagai peri di ruang pendapa dan mengucap selamat datang kepada para pelestari budaya.
Statement “Tidak ada bangsa besar tanpa budaya. Tanpa budaya, bangsa yang pernah besar pun tidak berdaya” berkumandang mengawali gelaran pada malam Jumat Pahing (31/10/25).
“Kita ambil contoh seperti Somalia dan Afganistan. Mereka pernah besar, sekarang berantakan karena lupa budayanya. Sebaliknya, lihatlah Jepang dan Korea, pernah hancur, namun segera bangkit dan sekarang menjadi negara maju dan besar karena tidak lupa budaya”, jelas pembina Bhimasakti, Ibnu Sunanto dalam sambutan tegasnya.
Ibnu Sunanto menambahkan bahwa kita patut mencontoh Jepang atau Korea, bukannya Afganistan atau Somalia.

Sementara itu Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur, Endah Budi Heryani mengapresiasi penyelenggaraan acara
Pelestarian Budaya yang diadakan Bhimasakti melalui lomba karya video budaya.
“Saya di sini tidak sendiri karena ada pelestari budaya, yang memberikan estafet kesadaran pelestarian budaya”, kata Endah Budi Heryani.
Hasilnya, lebih dari 200 video karya generasi Z menunjukkan adanya kesadaran pentingnya pelestarian budaya.
Budaya tidak sekedar masa lalu. Tetapi budaya adalah akar, yang menjadi tumbuh dan berkembangnya masa depan.
“Matinya akar budaya adalah matinya masa depan”, kata Ibnu Sunanto.
Setelah rangkaian pengumuman dan penyerahan apresiasi kepada para pemenang lomba video budaya, lantas disusul sarasehan budaya dengan tema “Melawan kepunahan budaya Nusantara” dengan Narasumber Sumrambah (wakil bupati Jombang (2018-2023) dan Imam Ghozali. (PAR/nng).
