Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Niat dan gagasan untuk terus memperkenalkan budaya bangsa senantiasa melekat sebagai dasar dalam memajukan kebudayaan. Ada niat dan gagasan, yang dikemas dalam kreativitas yang inovatif, insyaallah menjadi inspirasi yang memberi manfaat bagi orang lain. Leading dan trend setting adalah tempatnya.
“Alon Alon asal kelakon, gremat gremet waton Slamet” adalah ungkapan bijak di tanah Jawa, yang pada pada gilirannya akan “sarujuk” dengan ungkapan umum nasional, yang berbunyi “Dikit dikit lama lama menjadi bukit”. Biasanya, niatan ini dibarengi dengan kesabaran dan ketulusan yang penuh dengan ikhtiar.
Akhirnya siapapun orang itu akan memberikan pandangan dan wawasan bagi yang lain, yang akhirnya bisa bersama dalam gerak dan langkah menuju satu tujuan. Pihak itu pasti punya greget.
Kata “gereget” memiliki arti nafsu, semangat, atau kemauan untuk berbuat sesuatu. “Rasa greget” ini sebetulnya merujuk pada perasaan gelisah, tidak puas, dan terdorong untuk melakukan perubahan atau mencapai sesuatu yang lebih baik.
Ketika rasa ini diarahkan secara positif, ia dapat menjadi pendorong kuat untuk menjadi seorang visioner, yaitu individu yang memiliki pandangan jauh ke depan dan mampu menciptakan ide-ide inovatif untuk masa depan. Misalnya greget dalam mengusulkan Aksara dalam Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya.
Rasa “greget” ini pada dasarnya muncul dari perasaan tidak puas terhadap kondisi yang ada saat itu. Alih-alih pasrah atau menyerah, seorang calon visioner menggunakan ketidakpuasan ini sebagai motivasi untuk mencari solusi dan menciptakan kondisi yang lebih baik.
Itulah semangat insan Rajapatni yang selalu tidak puas (positif) untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru demi kebaikan yang bersifat umum. Upaya itu tidak mudah. Penuh cobaan dan tantangan. Namun seiring dengan adanya greget, aral melintang pasti akan bergelimpangan.
Dalam memajukan Aksara Jawa, rintangannya luar biasa. Namun, Greget berhasil mengalahkannya. Belum lama ada peluang dalam memperkenalkan budaya, yang menjadi identitas bangsa itu. Aksara Jawa hadir di lingkungan Homeschooling Bintang Surabaya sebagai pelajaran muatan lokal
Muatan Lokal
Diinformasikan bahwa para siswa belum pernah mendapat pelajaran Aksara Jawa. Karena memiliki program muatan lokal, maka dibukalah kelas dengan muatan lokal yang mengambil Aksara Jawa.

Usia para siswa itu bervariasi mulai dari usia SD, SMP hingga SMA. Tentu tantangan tersendiri menghadapi siswa yang berangkat dari Nol. Belum punya background of knowledge and skills in writing Javanese script.
Ketika ditanya apakah pernah belajar aksara Jawa. Tentu mereka menjawab belum pernah. Bahkan ada yang sudah merasa takut sebelum kelas dimulai. Alasannya belum pernah mendapat pelajaran Aksara Jawa.

Ketika kelas dimulai baik siswa yang di kelas offline maupun online (hybrid class), diperkenalkan lagi mereka dengan alat yang sudah tidak asing buat mereka. Yaitu Gadget (HP) dimana didalamnya terdapat aplikasi web salin saja.
Web “salin saja” adalah sebuah situs web, yang membantu pengguna mentransliterasi bahasa Indonesia atau Jawa dan lainnya ke Aksara Jawa. Web ini membantu belajar menyenangkan.
Para siswa ini diajak membuka laman web “Salin Saja”, lalu mentransliterasi nama masing masing ke dalam aksara Jawa, lalu menulisnya secara manual.

Kemudian mereka diajak mengenal aksara Jawa dasar (Nglegena) berikut sandangan dan pasangan. Dengan pendekatan empiris dan praktis, mereka ternyata bisa menyalin kosa kata kosa kata dasar seperti “Kata”, “Saya”, “Buku”, “Sapi”, “Cahaya” dan lainnya dalam aksara Jawa.
Mereka pun bersemangat menunjukkan hasil tulisan atas kata kata dasar yang diminta pengajar. Di atas rata rata, mereka aktif dan antusias. Ternyata mereka bisa dan berani beraksi.

Dari wajah wajah mereka yang ceria dan ditambah dengan celotehan anak, mereka ternyata tidak takut dan bahkan menikmati materi pelajaran muatan lokal aksara Jawa.
Itulah potret siswa siswi Homeschooling Bintang Surabaya dengan pelajaran Aksara Jawa. Sebuah tantangan telah terkalahkan.
Hadir dalam kelas offline ada sekitar 40 siswa. Demikian dengan siswa online sehingga total ada sekitar 80 siswa. (PAR/nng)
