RTBL dan Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya

Cagar Budaya

Rajapatni.com: SURABAYA – Jika masyarakat semakin mengerti akan sesuatu hal yang terjadi di lingkungannya, berarti mereka semakin bisa memaknai dan menimbang baik-buruknya serta benar-tidaknya sesuatu itu. Atas tingkat pengertian dan pemahaman itu, selanjutnya mereka bisa menjadi “hakim” atau “polisi”, yang bisa menimbang dan memberi reward untuk yang positif dan memberi sanksi untuk yang negatif. Jika itu berupa sanksi yang selanjutnya menjatuhkan “hukuman”, maka sanksi itu adalah sanksi sosial.

Pernyataan itu mencerminkan ide bahwa masyarakat semakin kritis dan mampu menilai baik buruknya suatu hal berdasarkan pemahaman mereka sendiri. Hal ini menunjukkan pula bahwa kesadaran masyarakat akan isu-isu di lingkungan semakin meningkat, dan mereka tidak lagi hanya menerima informasi secara pasif. Mereka cenderung menjadi “hakim”, yang dapat menimbang dan memutuskan sendiri apa yang mereka anggap benar atau salah karena bersifat common sense.

Peningkatan derajat kesadaran masyarakat ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti akses informasi yang lebih mudah, informasi yang benar dan bertanggung jawab, pendidikan yang lebih baik, dan pengalaman hidup yang beragam. Dampaknya bisa positif, seperti meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan terhadap kebijakan publik.

Pendidikan publik (masyarakat) menjadi tanggung jawab bersama. Yaitu antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Tiga komponen ini harus selaras, Jangan sampai di satu pihak berjalan ke Utara, sementara pihak lainnya berjalan ke Selatan. Semua pihak harus bersama berjalan ke satu arah agar menjadi panutan bagi masyarakat yang didasari oleh kepercayaan masyarakat.

Para stakeholder harus seia sekata dalam memahami suatu persoalan atau isu sehingga di tingkat masyarakat tidak terjadi salah persepsi dalam memahami suatu persoalan, termasuk dalam memahami konteks sebuah kawasan atau situs cagar budaya.

 

Sosialisasi

Dalam sebuah rapat TACB Kota Surabaya pada Kamis, 19 Juni 2025, didapati satu masukan yang berupa undangan kepada para pengelola dan atau pemilik bangunan di kawasan atau situs cagar budaya dalam rangka mensosialisasikan pemahaman arti sebuah situs atau kawasan cagar budaya.

Salah seorang anggota TACB yang terdiri dari 5 orang, Ir. Handinoto, menyatakan perlunya RTBL sebagai acuan dalam pembangunan kota, yang menurutnya tidak cukup dengan yang bersifat fisik, tetapi juga non fisik misalnya nilai budayanya dan sejarahnya. Sehingga pembangunan kota Surabaya tidak saja pembangunan yang bersifat fisik (tangible) saja tetapi juga non fisik (intangible).

Kawasan Cagar Budaya Kota Lama yang sudah memiliki RTBL. Foto: ist

Menurut Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya Ir. Retno Hastijanti bahwa Surabaya masih memiliki RTBL untuk Kawasan Kota Lama. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) untuk kawasan Kota Lama Surabaya ini telah ditetapkan dalam Peraturan Walikota Surabaya, yaitu Peraturan Walikota Nomor 84 Tahun 2024.

“RTBL ini menjadi dasar dalam pengembangan kawasan, termasuk revitalisasi dan perbaikan fasilitas umum serta infrastruktur”, kata Hasti.

 

Perlunya Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya (BPKCB).

Sehingga dibutuhkan entitas seperti Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya (BPKCB) yang menurut aturan hukum yang berlaku yaitu dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, khususnya Pasal 97. Badan ini bertugas mengelola kawasan cagar budaya dan dapat dibentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat hukum adat.

Pesan pembentukan Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya ini juga disampaikan oleh Ketua Umum IAAI Pusat Marsis Sutopo.

“Badan Pengelola KCB itu amanat UU Cagar Budaya, Pasal 97”, tegas Marsis Sutopo.

Ia menambahkan bahwa tugas TACB itu melakukan kajian untuk penentuan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.

Harus ada tim serupa, yang memahami tentang bangunan dan arsitektur serta sejarah.

“Paling tidak timnya terdiri dari: arkeolog, sejarah, arsitek dan sipil”, tambah Marsis.

 

Perlu Ada RTBL dan Badan Pengelola

Sementara itu Ir. Handinoto berharap segera adanya RTBL untuk kawasan kawasan cagar budaya yang menjadi acuan buat semua stakeholders dalam memperlakukan suatu kawasan yang berstatus cagar budaya.

Melalui RTBL dan keberadaan Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya, badan ini bisa melakukan tugasnya seperti menjaga dan mengelola kawasan cagar budaya. Tugas ini meliputi pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan kawasan cagar budaya secara terpadu, serta memastikan upaya pelestarian temuan-temuan cagar budaya di wilayah tersebut.

Tugas Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya (BPKCB) berbeda dengan tugas Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). Tugas Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah memberikan rekomendasi terkait penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan cagar budaya.

TACB juga bertugas melakukan kajian terhadap objek, yang diduga cagar budaya untuk memastikan kelayakannya.

Seiring dengan pemanfaatan cagar budaya di kota Surabaya, yang cenderung melakukan perubahan perubahan fisik, perlu ada perhatian (atensi) dan intervensi dari dua entitas: TACB dan BPKCB, atas rencana perubahan perubahan yang diajukan oleh pemilik dan atau pengelola bangunan di kawasan itu.

Ini semua demi menjaga dan melestarikan identitas kota yang dilindungi oleh Perda, khususnya Perda Cagar Budaya dan nantinya Perda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *