Radio Pemberontakan (Bung Tomo) dan Surabaya Menggugat (K’tut Tantri).

Sejarah

Rajapatni.com: SURABAYA – Radio Pemancar Bung Tomo dijuluki “Radio Pemberontakan”. Sementara kerabat kerjanya, K’tut Tantri dijuluki “Surabaya Sue” (Surabaya Menggugat/Gugatan Surabaya) oleh Inggris. K’tut Tantri dipandang sebagai simbol Wanita Penggugat.

Potret diri K’tut Tantri. Foto: ist

Ini lantaran K’tut Tantri gencar menyuarakan protes atas aksi Sekutu pada masa Pertempuran Surabaya, kepada masyarakat dunia melalui siaran radio milik Bung Tomo, Radio Pemberontakan. Tampaknya dua kata “Pemberontakan” dan “Penggugat” ini memiliki derajat yang sama dalam perjuangan bangsa Indonesia di Surabaya.

Menakutkan kedua kata itu. Suara dan nada, baik milik Bung Tomo dan K’tut Tantri melalui corong radio pemancar Radio Pemberontakan, membuat darah banteng banteng Surabaya tetap berwarna merah dan siap membuat kain putih menjadi “merah putih” dan itu semua bersumber dari Mawar 10.

Bung Tomo, K’tut Tantri dan Mawar 10 adalah bagai kekuatan tombak yang berujung tiga mata tombak terhunus. Mematikan. Itulah tombak berujung tiga atau layak disebut Trisula, senjata Dewa Siwa dalam mitologi Hindu.

Tombak bermata (berujung) tiga. Foto: ist

Kata “Sue” kata kerja dalam bahasa Inggris, yang secara harfiah berarti “menuntut” atau “menggugat”.

K’tut Tantri, yang bernama asli Muriel Stuart Walker, berdarah Inggris – Skotlandia kemudian menjadi orang Indonesia sejak terpikat oleh keindahan dan kedamaian Bali.

K’tut Tantri di usia lebih dewasa. Foto:ist

Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul “Bali, The Last Paradise”, sebagaimana ia ungkapkan gamblang dalam bukunya “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.

“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard. Saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul ‘Bali, The Last Paradise’. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.

“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.

Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu. Di Bali.

Buku karya K’tut Tantri. Foto: ist

Tantri mulai menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan, yaitu Bung Tomo.

Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.

“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa ku kerjakan,” tulisnya dalam Revolt in Paradise.

Revotl in Paradise karya K’tut Tantri. Foto: ist

Di Surabaya K’tut Tantri bersama Radio Pemberontakan, membantu Bung Tomo menyuarakan kemerdekaan dan upaya pertahanan Kemerdekaan dan mengabarkan ke penjuru dunia. Dalam kesaksian Bung Tomo atas dedikasi K tut Tantri, Bung Tomo mengatakan sebagaimana ditulis oleh Pratama media news:

“Saja tidak akan melupakan detik-detik dikala Tantri dengan tenang mengucapkan pidatonya dimuka mikrofon. Sedangkan bom-bom dan peluru-peluru mortir berjatuhan dengan dahsyatnya di sekeliling pemancar radio pemberontakan,” kata Bung Tomo.

K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947. Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia memberi penghargaan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.

K’tut Tantri bertemu presiden Soekarno. Foto: ist

Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking, sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan, tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997 di Sydney, Australia. Pada 27 Juli 2025 ini, Tantri akan genap berusia 127 tahun. Ia lahir 19 Februari 1898 dan wafat pada 27 Juli 1997. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *