Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Satu satunya prasasti mewah beraksara Jawa ada di Surabaya. Kemewahan prasasti ini terlihat dari bahan dan bentuk. Prasasti Ini terbuat dari bahan tembaga berukuran panjang hampir 2 meter dan lebar sekitar 75 centimeter. Isinya tentang pemberian Masjid dari pemerintah Hindia Belanda kepada segenap bangsa/umat Islam di Surapringga (Surabaya). Sementara huruf hurufnya (aksara) terbuat dari plat tembaga, yang kemudian diklem (ditempel) pada lembaran plat yang menjadi dasar dan berbingkai tembaga model profil.

Prasasti logam ini memiliki fungsi yang serupa dengan prasasti batu, yaitu sebagai sarana untuk mencatat peristiwa penting, keputusan, atau informasi lainnya yang dianggap penting pada masa lalu.
Kata “Prasasti” sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, dengan arti yang sebenarnya adalah “pujian”. Namun kemudian dianggap sebagai “piagam, maklumat, surat keputusan, undang undang atau tulisan”. Di kalangan arkeolog prasasti disebut inskripsi. Sementara di kalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat.
Prasasti Masjid Kemayoran tidak hanya penting sebagai sumber informasi sejarah Surabaya, tetapi juga menunjukkan keahlian dalam pembuatan logam pada masa lalu. Prasasti ini biasanya berukuran sedang dan berisi tulisan dalam aksara dan bahasa kuno.

Siapakah yang membuat prasasti logam di Masjid Kemayoran itu? Belum diketahui siapa pembuat fisik prasasti. Sementara, pembuat isi prasasti diduga kuat adalah pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa di era itu.
Pada tahun 1848 M di Surabaya sudah ada pabrik pembuat aneka jenis dan konstruksi dari logam. Yaitu Artillerie Constructie Winkel (ACW). Bengkel di Surabaya ini didirikan pada tahun 1808. Pendiriannya diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels.
Apakah prasasti Masjid Kemayoran dibuat di ACW? Belum ada sumber.
Kata “artillerie” (bahasa Belanda) berarti senjata api berat, yang ditembakkan dari jarak jauh seperti meriam. Namun beberapa produk berbahan logam seperti pagar dan lonceng ternyata juga diproduksi oleh ACW Soerabaia.
Pembuatan prasasti ini tentunya dalam penuh pengawasan oleh ahli aksara Jawa agar tidak keliru dalam pembuatan dan penempatan “sandangan”, “pasangan” dan “adeg adeg”. Yang menarik lainnya adalah adanya penulisan nama nama asing seperti Daniel Francois Willem Pietermaat sebagai Residen Surapringga dan Jan Jacob Rochussen sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Aksara Jawa, secara natural dan kultural, penulisannya dibuat berdasarkan bunyi atau suara dari pengucapan suatu kata. Jika ada perbedaan pengucapan dalam bunyi pastilah terjadi perbedaan dalam penulisan. Pun demikian ketika pada pengucapan nama nama asing seperti “Daniel Francois Willem Pietermaat” dan “Jan Jacob Rochussen”.
Apapun pengucapannya, penggunaan aksara Jawa pada masa itu (1848) sudah mengenal bagaimana menuliskan bunyi bunyian asing (bukan lokal).
Dalam aksara Jawa tidak mengenal aksara “F atau FA” karena itu adalah aksara asing. Namun secara lokal ada aksara “P atau PA”. Akhirnya pada nama “Francois”, “F” nya terbaca menggunakan PA yang diberi tanda titik tiga di atas dan tertulis ꦥꦶ (FA).
Contoh lainnya nama “Khofifah” maka terbaca “Kopipah” dalam tulisan aksara Jawa. Untuk tetap pada penulisan yang berbunyi Khofifah maka ditulis ꦏ꦳ꦺꦴꦥ꦳ꦶꦥ꦳ꦃ dari ꦏꦥꦶꦥꦃ. KH dan FA adalah bunyi asing dan tidak ada dalam aksara Jawa. Adanya adalah KA dan PA.
Jadi pada tahun 1848, aksara Jawa sudah mengenal aksara Rekan. Aksara Rekan adalah aksara tambahan dalam aksara Jawa, yang digunakan untuk menuliskan bunyi-bunyi konsonan dari bahasa asing, terutama bahasa Arab, yang tidak terdapat dalam aksara Jawa biasa. Aksara ini dibentuk dengan menambahkan tanda “cecak telu” (tiga titik) pada aksara Jawa yang bunyinya paling mendekati.
Itulah keistimewaan aksara Jawa yang sudah digunakan dalam penulisan Prasasti Masjid Kemayoran.
Pada saat masjid ini dibangun (1848) belumlah dipakai nama “Kemayoran” tetapi nama lokasi umum dimana masjid berada. Yaitu “Surapringga”, nama lain Surabaya. Nama Surapringga juga digunakan sebagai identifikasi jabatan setempat misalnya Bupati Negari Surapringga dan Residen Surapringga, yang secara umum menjadi identifikasi Masjid Surapringga.

Nama “Kemayoran” muncul dalam pemberitaan pemberitaan pada tahun 1920 dan 1930-an ketika ada rencana dan renovasi masjid setelah 86 tahun pembangunan 1848. Diantaranya oleh surat kabar De Indische Courant (18/7/1934), De Soerabaiasche Handelsblad (18/7/1934) dan De Lokomotief (8/3/1927).

Masjid Surapringga atau kemudian dikenal dengan Masjid Kemayoran adalah masjid besar di Surabaya selain Masjid Ampel dan Masjid Peneleh pada abad 19. Masjid Surapringga berada dalam lingkungan pusat pemerintahan Surabaya di eranya. (PAR/nng)