Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – DPRD Kota Surabaya sedang menggodok Raperda Inisiatif Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya. Mengiringi proses itu, di Surabaya sudah terpasang penulisan Aksara Jawa. Penulisan dalam bentuk signage sebagaimana terlihat di kantor kantor Pemerintah Kota Surabaya.
Sayangnya, pemasangan signage beraksara Jawa itu masih bersifat top down. Yakni melalui SK walikota Surabaya kepada jajaran dibawahnya. Sejak 2023 tulisan aksara Jawa itu menghiasi perkantoran Pemerintah.
Meski demikian belum tampak banyak inisiatif yang berangkat secara bottom up. Masih terlalu sulit meski sudah ada satu dua yang muncul.

Bisa dimaklumi karena sudah terlalu lama, aksara Jawa absen di Surabaya sebagai pembiasaan warga dalam menggunakannya.
Dulu, penggunaan aksara Jawa muncul dari kesadaran masyarakat termasuk pemerintahnya. Wujudnya adalah signage dan penerbitan dalam aksara Jawa.
Contohnya adalah prasasti yang ada di Masjid Kemayoran Surabaya. Ini menunjukkan bahwa Aksara Jawa bukan hanya sekedar sistem tulisan, tetapi juga mencerminkan filosofi, nilai-nilai, dan pemikiran masyarakat Jawa.
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda, aksara Jawa menjadi bagian dari sarana komunikasi yang menjembatani antara pemerintah dan masyarakat. Ini berarti bahwa aksara Jawa digunakan dalam berbagai keperluan resmi, termasuk penerbitan surat kabar dan dokumen lainnya.
Prasasti di Masjid Kemayoran adalah dokumentasi pemerintah.“Punika peparingipun Kanjĕng gubernemen Londo dumateng sa rupining bangsa Islam” (Ini adalah benar benar pemberian Pemerintah Hindia Belanda kepada segenap umat Islam). Termasuk juga inskripsi aksara Jawa pada Gapura Munggah di kompleks Sunan Ampel, yang menunjukkan kehadiran penguasa di sana. Inskripsi itu berbunyi “Pakertining Pandhita Winayang ing Ratu” (Perilaku pemimpin di bawah pengaruh Raja).
Telah terjadi jeda cukup lama ketika aksara Jawa absen (tidak digunakan). Ketika akhir akhir ini aksara jawa muncul lagi di Surabaya, kiranya masih perlu didukung oleh kesadaran kolektif untuk menumbuhkannya. Ternyata, upaya ini masih sangatlah sulit.
Menumbuhkan kembali kesadaran kolektif ini perlu di trigger oleh pemangku berwenang, yang tidak hanya oleh pucuk pimpinan pemangku. Setidaknya oleh jajaran (dinas) yang mengampu Object tersebut. Aksara Jawa adalah konteks budaya dan literasi serta pendidikan. Di bawah dinas dinas terkait dengan kebudayaan, literasi dan pendidikan lah aksara Jawa dapat terwadahi dan terurus.

Karena masih parsial kesadaran itu, maka perlu ada aturan dimana aksara Jawa bisa terurus dan terimplementasikan, khususnya di Surabaya. Sudah ada inisiasi memasukkan Aksara Jawa sebagai bagian dari Object Pemajuan Kebudayaan dalam Raperda Pemajuan Kebudayaan Surabaya.
Kelak, melalui Perda inilah, aksara Jawa dapat terurus dan digunakan kembali sebagai upaya menjaga dan melindungi identitas bangsa.
Belajar dan menggunakan aksara Jawa adalah upaya pelestarian warisan budaya, pengembangan literasi, dan peningkatan pemahaman tentang sejarah serta nilai-nilai luhur masyarakat Jawa sebagai bagian dari identitas bangsa. (PAR/nng)