AKSARA
Rajapatni.com: SURABAYA – Mengapa dirasa perlu memperbaiki (ndandani) kuburan Herman N. van der Tuuk di Makam Eropa Peneleh Surabaya?
Ini pertanyaan yang perlu dijawab. Karena menjawab bisa membuka mata. Karena isi jawaban bisa membuka hati.

Memperbaiki kuburan Herman N. van der Tuuk bisa membuka mata dan hati, yang berarti menyadari sesuatu yang penting dan mengubah cara pandang menjadi lebih baik akan pelestarian bahasa dan aksara daerah.
Upaya ini bertujuan agar masyarakat bisa lebih menghargai dan menjaga keberlangsungan bahasa dan aksara daerah sebagai warisan budaya yang berharga.
Para penggiat budaya bahasa bahasa daerah dan aksara daerah, yang kini menjadi identitas bangsa, tidak lepas dari jasa Herman N van der Tuuk.
Dia adalah ahli linguistik bahasa bahasa daerah termasuk aksara yang menjadi bagian dari studinya.
Bayangkan, Bahasa Kawi atau Bahasa Jawa Kuno sudah jaug digunakan pada zaman kerajaan Hindu-Budha, terutama dari abad ke-9 hingga abad ke-15 di Pulau Jawa. Bahasa ini digunakan untuk penulisan berbagai karya sastra dan keagamaan, serta juga ditemukan dalam prasasti dan naskah kuno.

Ketika Van der Tuuk mengerti Bahasa Kawi berarti dia paham aksara Kawi. Aksara dan bahasa Kawi digunakan pada abad 9 hingga 15. Sementara Van der Tuuk hidup di abad 19. Dia tidak mendengarkan bahasa Kawi dari penuturan seseorang. Berarti dia mempelajari bahasa Kawi melalui prasasti atau buku buku sastra kuno yang beraksara Kawi atau Jawa kuno.
Pun demikian ketika dengan bahasa Jawa. Pelajaran linguistiknya bisa saja didukung manuskrip manuskrip kuno atau bahkan prasasti prasasti yang tulisannya berbentuk aksara daerah (Jawa). Melalui tata tulis itulah, ia bisa belajar bahasa dan membedakan kosa kata.
Misalnya dalam era kekinian, untuk membedakan kosa kata bahasa Jawa pada kata “loro” dan “lårå”. Dengan sistem tulis aksara Jawa, kita tau yang mana yang berarti “DUA” (loro) dan “SAKIT” (lårå).

Karenanya ia pun membuat beberapa kamus dan merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam studi bahasa-bahasa Nusantara, termasuk kamus bahasa Batak, Bali, Lampung, Melayu, dan Jawa.
Arti “Dua” dalam bahasa Jawa bisa diketahui lewat tulisan aksara ꦭꦺꦴꦫꦺꦴ /loro/. Sedangkan makna “Sakit” dalam bahasa Jawa dapat diketahui dari tulisan ꦭꦫ /lårå/. Tanpa mengenal aksara (tulisan), kita tidak tahu apakah bermakna “dua” atau “sakit”.
Diduga begitulah Herman N van der Tuuk dalam mempelajari bahasa Jawa. Belajar bahasa berarti belajar sistem ucap (bahasa) dan sistem tulis (aksara).
LEIDEN
Berikut data tentang Herman van der Tuuk, yang didapat oleh Michiel Eduard di Leiden.
Data itu berupa koleksi manuskrip Oriental, terutama dari kepulauan Indonesia, yang berupa: gambar, foto, catatan ilmiah, dan buku cetak yang dibuat oleh Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894).
Catatan itu menjelaskan bahwa koleksi besar itu mencerminkan penelitian dan studi ekstensif seorang ahli bahasa, yang sangat berbakat, yang setelah studinya di Groningen dan Leiden, lalu berkarier di layanan Lembaga Alkitab Belanda di tanah Batak Sumatera dan kabupaten Lampung, Jawa Barat, Amsterdam dan Bali Utara pada kurun waktu 1847-1873, dan kemudian bekerja sebagai pegawai linguistik sipil di pemerintahan kolonial Belanda di Bali Utara hingga kematiannya. Sang peneliti itu adalah Herman van der Tuuk.
Van der Tuuk adalah seorang jenius di bidangnya (linguistik), yang juga dikenal karena kepribadiannya yang eksentrik dan lidah serta pena yang “tajam”. Ia dianggap sebagai ahli bahasa Melayu dan Indonesia yang paling terkemuka pada abad kesembilan belas. Van der Tuuk juga merupakan pelopor dalam linguistik komparatif Austronesia (Melayu-Polinesia).
Herman van der Tuuk sendiri secara biologis berdarah campuran. Dia tidak murni orang Belanda. Ayahnya seorang pengacara Belanda yang menetap di Malaka. Sedangkan ibunya seorang perempuan keturunan campuran Jerman dan Belanda, dengan nama keluarga Neubronner. Ia lahir
Malaka, Hindia Belanda (sekarang Malaysia).
Pada usia anak anak, Ia pindah bersama keluarganya ke Surabaya dan pada usia sekitar dua belas tahun, ia dikirim ke Belanda untuk menempuh pendidikan di sekolah tata bahasa (grammar) dan kemudian melanjutkan ke universitas.
Sejak itu Van der Tuuk mengembangkan minat yang kuat dalam linguistik, khususnya bahasa-bahasa di tanah Nusantara, dan selanjutnya menjadi tokoh penting dalam linguistik modern di wilayah Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Atas kerja dan minat Van der Tuuk di beberapa daerah di Hindia Belanda, ia bisa mengidentifikasi dan merangkum suatu bahasa di suatu daerah. Hasilnya adalah dari wilayah Sumatera Utara ada bahasa dan aksara Batak, dari Lampung didapat bahasa dan aksara Lampung, ada bahasa dan aksara Jawa dari Jawa dan bahasa dan aksara Bali dari Bali. Termasuk ada kumpulan bahasa Melayu yang akhirnya kita kenal bahasa Indonesia.
Atas dasar perhatian dan karya linguistiknya, Herman van der Tuuk mendapat sebutan sebagai peletak dasar linguistik modern bahasa-bahasa Nusantara dan makamnya ada di Surabaya.
Karena itu penggiat aksara Jawa di Belanda dan Surabaya menghargai Herman van der Tuuk dengan cara melalui gagasan memperbaiki makamnya yang semakin tergerus. (PAR/nng).