Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Ketika masih sebagai jurnalis TV di stasiun televisi swasta lokal di Surabaya pada kisaran 2015-an, setiap tahun tidak pernah lepas dari agenda liputan sejarah di rumah bersejarah, yang pernah digunakan sebagai tempat memancarkan radio pemberontakan Bung Tomo di Jalan Mawar 10 Surabaya untuk program sejarah budaya “Blakra’an”. Bahkan sampai tahun 2016 sebelum rumah itu dibongkar, masih sempat liputan di rumah itu.

Sebagai bangunan cagar budaya, sorot kamera sempat mengabadikan data data kecagarbudayaan disana. Pun demikian sudut sudut arsitektur bangunan. Sehingga dari hasil liputan di rumah itu, sangat tergambar bagian mana yang tergolong bagian lama dan bagian tambahan (baru) sebagai hasil pengajuan renovasi bangunan pada tahun 1975 atas bangunan, yang didirikan pada tahun 1930-an itu.

Kala itu, ketika liputan tidak pernah berfikir secara detail bahwa bangunan itu akan dibongkar. Fokusnya hanya pada rasa ingin tau dimanakah Bung Tomo melakukan siaran radio, yang menyemangati pejuang dan arek arek Surabaya kala itu.
Rumah ini lumayan besar dan berdiri di dua alamat. Yaitu di Mawar 10 dan 12. Rumah induk berdiri di alamat Mawar 10. Atap bangunan rumah berbentuk Dutch Gable (Pelana Belanda), ciri bangunan besar dan berplafon tinggi yang di dalamnya cukup untuk ruangan.
Konon kabarnya Bung Tomo dalam bersiaran sambil sembunyi sembunyi agar tidak terlacak oleh siapa pun. Di wuwungan itulah kabarnya Bung Tomo menyiarkan pidato pidatonya. Sementara gugusan bangunan, yang berupa paviliun, berada di Mawar 12.
Wuwungan

“Wuwungan” atau bagian rongga tertinggi dari sebuah bangunan dimana Bung Tomo dikabarkan pernah menyiarkan pidatonya dari sebuah tempat, yang tujuan teknisnya untuk memperluas jangkauan siaran radionya.
Pidato-pidato Bung Tomo memang membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo untuk melawan pasukan Sekutu. Peristiwa siaran radio ini menjadi warna tersendiri dalam rentetan peristiwa perang November 1945. Bahkan Bung Tomo menjadi berita vokal dari rangkaian perang November 1945.
Sejak ada isu pembongkaran bangunan di Mawar 10 pada 2016, Surabaya ramai dan stasiun televisi lokal itu telah memiliki data video rumah yang cukup sebelum rumah itu dibongkar.

Sungguh sangat disayangkan dengan hilangnya bangunan bersejarah itu. Karena dengan hilangnya bangunan bersejarah, stasiun TV lokal milik Grup Jawa Pos itu tidak dapat lagi melakukan liputan sejarah di rumah itu pada tahun tahun berikutnya. Demikian pula Masyarakat Surabaya juga kehilangan kenangan, yang menjadi ingatan kolektif (bersama). Padahal memasuki area jalan Kombespol M Duriat saja, nuansanya sudah masuk atmosfer sejarah kenangan Rumah Radio Bung Tomo, yang berada di jalan Mawar 10.
Kenangan itu sudah hilang. Kini di tahun 2025 atau hampir 10 tahun berselang, dalam nuansa peringatan Hari Pahlawan tidak ada lagi ikon tempat bersejarah di jalan Mawar.

Padahal Rumah Radio Bung Tomo di Jalan Mawar No. 10-12, Surabaya, memiliki peran penting dalam Pertempuran Surabaya karena menjadi pusat siaran Radio Pemberontakan, yang dikelola oleh Bung Tomo dan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).

Melalui radio inilah Bung Tomo menyuarakan semangat perlawanan arek-arek Suroboyo terhadap pasukan Sekutu dan Belanda, membakar semangat juang mereka dengan pidato-pidato heroiknya yang terkenal dengan seruan “Merdeka atau mati!”. Pekik “Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar”, juga dikumandangkan dari rumah ini.
Sekarang rumahnya tidak ada tapi situs tak akan kemana. Ingatan kolektif masyarakat tidak dapat digeser dan dipindahkan. Bahwa peristiwa itu ada di lahan yang beralamat di jalan Mawar 10.
Semangat Bung Tomo tidak hanya milik Surabaya tapi milik bangsa Indonesia. Maka bangsa ini layak menanyakan untuk perawatan situs dan memori kolektif yang menjadi saksi bisu peristiwa besar.
Memang bangunan rumah sudah tiada, tetapi semangat membara dari situs itu tak terpadamkan. Karenanya dalam Raperda Pemajuan Kebudayaan ditambahkan nilai nilai Kejuangan dan Kepahlawanan agar bisa dipakai untuk merawat nilai nilai Kejuangan di Surabaya.
Selain melalui jalur legislasi, upaya pendekatan kembali ke keluarga Bung Tomo di Jakarta juga dilakukan. Ini menunjukkan betapa pentingnya merawat jejak perjuangan untuk semangat pembangunan masa depan.
Zaman Telah Berganti.
Atas pembongkaran pada 2016, sempat muncul suara suara yang mengatakan bahwa bangunan rumah itu adalah bangunan baru tahun 1970-an.
Lho ??????

Untung ada Stasiun Televisi lokal yang sempat mengabadikan kondisi rumah itu dan ditambah dengan data dari Dinas Cipta Karya Kota Surabaya, yang memiliki peta/denah rumah tahun 1933 dan pengajuan renovasi rumah tahun 1975. Dari peta itu terlihat mana gambar dan bagian bangunan asal (asli) tahun 1933 dan mana bagian dari hasil pengajuan renovasi tahun 1997.

Namun, kini semuanya sudah berlalu. Bangunan lama telah tiada. Bangunan baru memang terlihat mempesona.Tapi eksklusif adanya. Rakyat tak bisa mendekat. Ngintip pun dicurigai.
Andai negara bisa mengakuisisi dan menjadikan sebagai ruang publik untuk ajang interaksi, Alangkah indahnya Kota Pahlawan Surabaya. (PAR/nng)