Alam Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Naditira Pradesa artinya desa di tepian sungai. Surabaya adalah Naditira Pradesa. Itu dulu, pada kisaran abad 13-14 M. Sekarang di abad 21 kondisi alam Surabaya sudah berubah. Surabaya bukan lagi sebuah desa di tepian sungai. Tapi justru sungai sudah berada di dalam wilayah Surabaya, yang berukuran luas sekitar 335 km2.
Surabaya telah menjelma sebagai sebuah metropolitan baik dilihat dari segi alam maupun sosial budayanya. Surabaya tidak lagi rumah bagi penduduk lokal (pribumi), tetapi internasional. Sejak era kolonial, di kawasan, yang sekarang disebut Kota Lama Surabaya, adalah wilayah pemukiman warga asing: Eropa, China, Melayu dan Arab. Bahkan di sebuah komplek pemakaman kuno di Peneleh disebut Pemakaman Eropa.

Pun demikian dengan perubahan alamnya. Dulu di sepanjang aliran sungai, yang bernama Kali Surabaya termasuk dalam ruas kali yang bernama Kalimas, adalah kondisi alam yang indah, yang menjadi perpaduan wilayah darat dan air.
Sekarang wilayah daratnya menjadi hamparan bangunan “berotot kawat balung wesi” dengan orang orang berdasi sebagai “kalungnya”. Dulu masyarakat lokal berkalung manik-manik (dari manik-manik batu, tulang, atau kerang).

Dari masa itu ke masa sekarang sudah banyak perubahan yang terjadi. Pun demikian perubahan itu akan terus terjadi dari masa sekarang ke masa mendatang. Di masa sekarang, yang sudah terjadi di Surabaya, adalah kali (sungai) yang berubah menjadi jalan. Kalinya hilang tertutup box culvert sehingga menghilangkan pula dalam peta buta Surabaya. Kali tidak lagi diketahui sebagai sungai yang tergambar warna biru pada peta buta, tetapi berubah menjadi gambar (simbol) jalan.
Perubahan dari sungai menjadi jalan darat ini adalah perbuatan yang melawan alam. Bukan tidak mungkin, ini akan berimbas terhadap potensi terjadinya bencana alam.
Ok lah yang lalu sudah berlalu. Sekarang kita hidup di masa sekarang menuju ke masa depan. Hidup ramah lingkungan dan ramah budaya adalah penting.
Alam dan Budaya
Alam dan budaya memang sangat penting karena menyediakan sumber daya vital untuk kelangsungan hidup dan membangun identitas serta tatanan sosial masyarakat.
Karenanya menjaga alam dan budaya sangat penting tanpa harus merusak dan menghilangkan alam dan identitas. Hal ini dapat dilakukan melalui tindakan sederhana seperti mengurangi sampah, menghemat energi, dan menanam pohon.
Selain itu, melestarikan budaya melalui dokumentasi, promosi, dan penerapan kearifan lokal juga penting untuk menjaga warisan budaya dan alam secara berkelanjutan (sustainable culture and nature heritage).
Di Surabaya masih mengalir sungai Kalimas yang dulu bernama Kali Surabaya, yaitu anak kali Brantas yang bermuara melewati Surabaya.

Nama Surabaya (Syurabhaya) sendiri didapatkan dari sumber Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 M. Kini prasasti, yang terbuat dari lempeng tembaga itu, disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Karena prasasti itu memiliki nilai sejarah dan budaya Surabaya, akan lebih bagus kalau Kota Surabaya memiliki duplikat dari prasasti tersebut. Prasasti Canggu adalah bukti otentik dari keberadaan desa di tepian sungai (Naditira Pradesa).
Ruang Pembelajaran Alam dan Budaya
Sebuah gagasan untuk menjaga nama desa Syurabhaya sebagai Naditira Pradesa itu perlu. Wacana ini perlu pemanfaatan sejengkal lahan di suatu daerah di tepian sungai Kalimas di kota Surabaya untuk dijadikan ajang edukasi alam dan budaya Surabaya. Yaitu di satu tempat yang masih terdapat jasa perahu tambangan di Ngagel. Lahan itu bisa ditata dan dikelola sebagai ruang edukasi dan advokasi: alam dan budaya.
Nama “Syurabhaya” dicatat oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk pada 7 Juli 1358 M karena tersedianya jasa tambangan yang membantu dinamika perdagangan, keagamaan dan kebudayaan kala itu.

Dengan memperbaiki satu satunya sarana jasa tambangan yang masih ada di Kalimas Ngagel dan menata serta mengelola daerah sekitar tambangan untuk sarana edukasi alam dan budaya, maka akan ada upaya pelestarian alam dan budaya, tepatnya terkait dengan sejarah Surabaya.
Umumnya orang berbuat sesuatu untuk sebuah kebaikan didasari oleh kesadaran akan pentingnya suatu tindakan. Tapi apakah pemangku Surabaya telah sadar akan pentingnya nilai sejarah (history), budaya (culture) dan alam (nature) yang sesungguhnya telah berdasar pada sumber otentik prasasti Canggu? (PAR/nng)