Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Jejak jejak sejarah klasik Surabaya penting dan menarik. Namun banyak warga tidak mengetahuinya. Jejaknya seolah terkubur oleh waktu yang akibatnya hilanglah ingatan terhadap keberadaannya. Untuknya masih ada jejak yang masih bisa dilihat mata.
Jika pikiran tidak menjaga, setidaknya benda dan bangunan sebagai peninggalannya masih bisa dilihat mata. Siapa mau melihat? Siapa punya tanggung jawab? Artefak Benda dan bangunan adalah sejarah Surabaya.
Abaikah kita dengan itu semua?
Berikut adalah jejak jejak faktual yang harus dijaga. Menjadi tidak hanya fisiknya tapi memori yang tersimpan di baliknya.
1. Lapangan Tugu Pahlawan.
Untuk memulai tracking jejak sejarah klasik Surabaya, titik awal (starting point) nya adalah lapangan Tugu Pahlawan, yang dulu dikenal dengan alun alun.
Tempat ini menjadi orientasi awal keberadaan satu kawasan sebagai pusat pemerintahan klasik Surabaya dimana di sekitar lapangan ini pernah berdiri kediaman Bupati Pertama (Eerst Regent Wooning) atau Kasepuhan dan kediaman Bupati Kedua (Twee Regent Wooning) atau Kanoman. Lantas di tengah alun alun pernah ada jalan setapak, yang kemudian menjadi jalan umum dan dilewati kendaraan mulai yang bertenaga hewan maupun motor. Jalan ini dinamakan jalan Alun Alun, yang lantas menjadi Alun Alun Straat. Kini menjadi Jalan Pahlawan. Alun Alun Straat menjadi bagian dari jalan Raya Pos atau Jalan Daendels yang menghubungkan Anyer (Jawa Barat) dan Panarukan (Jawa Timur).
Bayangkan Jalan Pahlawan yang membujur Utara – Selatan ini, dulunya membelah tengah lapangan Alun Alun. Bisa diduga alun Alunnya besar sekali. Berarti lahan dimana kantor gubernuran berdiri adalah bagian dari lapangan. Berdasarkan peta Surabaya 1677, kawasan di bagian Timur Alun Alun pernah ada Kediaman Bupati Kanoman (Twee Regent Wooning). Di kawasan ini berdasarkan legenda peta Surabaya 1677, tepatnya di daerah Sulung, tersebut sebagai situs kuno dimana para Pangeran sebelum era Mataram tinggal. Kawasan Sulung adalah Situs tempat tinggal para Pangeran, yang reruntuhannya pernah dipakai sebagai benteng pertahanan Trunojoyo. Sebelah selatan dari Sulung adalah jalan Pasar Besar sebagai toponimi dari sebuah pasar kala itu.
Dari Sulung dan Pasar Besar ke arah Barat atau di sebelah selatan dari lapangan Tugu Pahlawan (eks alun alun), terdapat makam kuno, yang memiliki tata ruang dimana setiap ruang dihubungkan dengan Regol (pintu) paduraksa.
Pintu model Paduraksa ini mengingatkan pada gapura gapura di komplek Sunan Ampel. Logisnya ada tiga gapura di kawasan makam kuno di selatan alun alun Surapringga, tetapi ada dua tersisa dan salah satunya adalah gapura yang masuk ke zona inti, makam dimana terdapat makam Pangeran Pekik. Lainnya sudah hilang karena tumbuhnya perkampungan di Kampung Kawatan.

Pangeran Pekik dalam sejarah dikenal dengan anak Adipati Jayalengkara, seorang Adipati Surapringga (Surabaya). Pangeran Pekik menggantikan Ayahanda memerintah Surapringga.

Sementara itu di lapangan Alun Alun pada bagian Barat, berdasarkan ilustrasi peta kuno, pernah berdiri sebuah masjid. Masjid. Masjid ini berorientasi Timur – Barat dengan lapangan alun alun di bagian Timurnya, sebagai lapangan masjid.
Lantas di bagian Utara Alun Alun adalah kediaman Eerst Regent Wooning atau Kasepuhan yang lokasinya berada di area Kantor Pos sekarang.
Dengan kondisi, yang seperti sekarang, bisa dibayangkan betapa luasnya lapangan alun alun Surapringga yang berbentuk lapangan persegi panjang itu. Tetenger akan pernah adanya kediaman Bupati Kasepuhan (Eerst Regent Wooning) adalah nama jalan yang sekarang disebut Jalan Kebon Rojo. Dulu adalah Regentstraat (Jalan Bupati), yang sekaligus taman indah. Dimasa pemerintahan kolonial, dimana lahan dimana kantor Bank Indonesia adalah Taman Kota (Stadsplein), yang luas dan indah.
Setelah orientasi kawasan pusat pemerintahan klasik Surabaya, selanjutnya berjalan masuk ke Makam Kuno di jalan Tembaan.
2. Makam Pangeran Pekik

Kekunoan makam ini adalah bagian dari tata ruang areal makam dimana pernah terbagi dari ruang Njaba, tengah dan njero dimana zona utama berada. Yaitu ditandai dengan adanya makam Pangeran Pekik yang sekarang tertulis Makam Kyai Seda Masjid. Memasuki zona utama ini harus melalui sebuah Regol model Paduraksa dengan kayu ukir Jawa.

Selain itu dari areal ini juga ditemukan satu umpak, yang terbuat dari batu andesit bermotif. Entah umpak dari bangunan apakah yang pernah ada di komplek makam kuno ini. Selain makam Pangeran Pekik juga didapat makam makam lainnya dengan model layak ya makam tua.
Dari areal alun alun atau Tugu Pahlawan, pemberhentian berikutnya adalah Masjid Kemayoran atau Raudhatul Musyawarah.
3. Masjid Kemayoran

Masjid Kemayoran disebut sebut sebagai salah satu dari tiga Masjid Besar di Surabaya kala itu. Masjid lainnya adalah Masjid Ampel dan Masjid Peneleh. Masjid Kemayoran disebut Masjid Raudhatul Musyawarah karena dari tempat inilah kegiatan kegiatan musyawarah dalam upaya memakmurkan tiga masjid besar itu diselenggarakan.
Ada keistimewaan dari Masjid Kemayoran. Yaitu adanya prasasti beraksara Jawa yang dibuat sebagai tanda peresmian pembangunan masjid. Tertanda masjid dibangun pada 1772-1776 Tahun Jawa atau 1848-1853 Masehi. Tertanda pada prasasti berukuran panjang 2 meter dan lebar 75 cm adalah atas nama pemerintah yang terdiri dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen, Residen Surapringga (Surabaya) Daniel Francois Willem Pietermaat dan Bupati Surapringga (Surabaya) Raden Tumenggung Kramajayadirana.
Selain masjid, juga ada kelengkapan masjid. Yaitu adanya kampung yang bernama Kemayoran Kauman. Sebagai perbandingan kampung Kauman ada di beberapa kota misalnya di Yogyakarta, Surakarta, Malang dan Pasuruan. Kampung Kemayoran Kauman ada di barat Masjid.
Lantas alun Alunnya ada dimana?
Alun alun dari tata ruang ini ada di Timur Masjid. Sekarang lapangan Alun Alun itu berubah fungsi menjadi bangunan sekolah swasta, Ta’miriyah. Akibatnya lapangan alun alun milik pemerintah Kabupaten Surabaya hilang. Di Timur lapangan alun alun terdapat Rumah Bupati.
4. Kantor Pos (d/h Rumah Bupati)

Sekarang kita tahu ada Kantor Pos di area ini. Awalnya adalah rumah Bupati dengan gaya arsitektur Indische yang dibangun pada kisaran tahun 1840-an dalam satu paket dibangunnya komplek pusat pemerintahan Surabaya sebagai pengganti Alun alun lama di kawasan Tugu Pahlawan.
Pada tahun 1881 kediaman resmi Bupati Surabaya pindah ke rumah baru di Tegalsari dan kediamannya dipakai sebagai sekolahan HBS dimana presiden pertama Indonesia pernah bersekolah mulai 2016 – 2021.
Ketika HBS pindah ke Ketabang, Bangunan bergaya Indische itu dipakai sebagai kantor Polisi hingga tahun 1928. Kesatuan polisi Surabaya ini lantas pindah ke kamp (barak militer) di Jotangan hingga sekarang. Tahun 1928, gedung rumah Bupati dibongkar dan dibangun Kantor Pos.
Keistimewaan dari Gedung Kabupaten ketika masih dipakai oleh Bupati Surabaya adalah gedungnya menghadap ke empat arah: Barat, selatan, Timur dan Utara. Ke Barat menghadap Alun Alun baru, ke selatan menghadap ke taman dan alun alun lama, ke Timur menghadap ke sungai Kalimas sebagai jalur transportasi utama kala itu dan ke Utara menghadap ke kota kolonial Surabaya ( sekarang Kota Lama Surabaya).
5. Makam Kromojayan Bibis

Dari Kantor Pos, kemudian jelajah jejak sejarah klasik Surabaya berjalan ke arah Timur dan menyeberang sungai Kalimas ke komplek Makam Kromojayan Bibis, dimana Raden Tumenggung Kramajayadirana diistirahatkan.
Bupati Raden Tumenggung Kramajayadirana adalah bupati pertama Surabaya yang dilantik resmi oleh pemerintah Hindia Belanda. Pelantikan itu sesuai Resolutie Van Henne Excellentiin de Commissarissen General in Rade (Resolusi Van Henne, Yang Mulia Komisaris Jenderal di Rade) pada 07 Januari 1819 no 6.
Adipati Tumenggung Kramajayadirana diangkat secara resmi menjabat sebagai bupati pertama Surabaya oleh pemerintah Hindia belanda mulai dari 1819 sampai 1825 (selama 6 tahun).
Nama Raden Tumenggung Kramajayadirana sebagai Bupati Surapringga ini juga terdapat pada prasasti Masjid Kemayoran bersama nama nama petinggi pemerintah Hindia Belanda. Yaitu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Jacob Rochussen dan Residen Surapringga (Surabaya) Daniel Francois Willem Pietermaat.
Dari komplek makam Kramajayan, kemudian berlanjut ke kampung Bibis
6. Masjid Raudlatul Jannah
Masjid Raudlatul Jannah ini kecil dan berada di mulut gang kampung Bibis. Bangunan nya berlantai dua dengan struktur lantai berbahan kayu.

Berdasarkan inskripsi yang terdapat pada mimbar pengimaman, terdapat angka tahun 1231 H atau relevan tahun 1810 M. Masjid ini terhitung tua sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda HW Daendels (1808 – 1811). Di masa pemerintahan Daendels, ia pernah memberikan seperangkat alat gamelan kepada Bupati Surabaya.

Demikianlah jejak sejarah klasik Surabaya, yang masih bisa ditelusuri dan dilihat. Di luar kawasan segitiga ini: Area Tugu Pahlawan (alun alun lama), Area Masjid Kemayoran (alun alun berikutnya) dan makam Kromojayan, adalah Pesarean Botoputih Pegirian yang juga pesarean para Bupati Surabaya dan Makam Sunan Ampel serta Taman Bungkul dimana diduga terdapat makam Jengrono I dan di Tegalsari yang merupakan kediaman Bupati Surabaya serta Pendopo Kabupaten Surabaya di Gentengkali. (PAR/nng).