Aksara:
Rajapatni.com: SURABAYA – Ada dua peristiwa pembongkaran gedung lawas di dua lingkungan bangunan dan kawasan Cagar Budaya di Surabaya. Pertama adalah pembongkaran bangunan Rumah Sakit Kelamin Indrapura beberapa tahun silam. Sebuah lingkungan/klaster bangunan cagar budaya ini luas. Dari klaster bangunan yang berdiri dalam satu kesatuan itu, sebagian besar telah dirobohkan dan telah didirikan bangunan baru bertingkat. Lokasinya di jalan Indrapura Surabaya.
Sebelum dibongkar, dalam satu klaster itu, hanya satu gedung utama, yang berplakard Cagar Budaya dan tidak dibongkar. Sementara gugusan bangunan lainnya telah dibongkar dengan alasan gugusan bangunan itu tidak ada placard cagar budaya.
Padahal dalam satu klaster bangunan lama ini, penetapan status Cagar budayanya memang diwakili oleh satu plat yang kemudian ditempelkan pada salah satu bangunannya. Satu Plat Placard Cagar Budaya itu ditempelkan pada dinding gedung utama Rumah Sakit Kelamin, yang menghadap ke jalan Indrapura.

Tindakan pemasangan satu placard Cagar Budaya untuk satu bangunan adalah wajar. Karena status untuk bangunan Cagar budaya hanya diwakili oleh satu placard. Karenanya untuk klaster bangunan cagar budaya Rumah Sakit Kelamin Indrapura, placard Cagar Budaya ditempelkan pada bangunan utama dari gugusan bangunan Rumah Sakit Kelamin itu.
Akibatnya ketika ada proses pembangunan, bangunan yang tidak ber placard bisa dibongkar. Sekarang gugusan yang tidak berplacard itu telah hilang dan berganti dengan bangunan bertingkat. Hal serupa terjadi kembali pada rumah kolonial di jalan Raya Darmo 30. Bangunan itu bergaya rumah Kolonial, yang berdiri di kawasan Cagar Budaya Perumahan Darmo. Rumah itu pun mengalami nasib serupa seperti gugusan bangunan lama Rumah Sakit Kelamin Indrapura Surabaya.
Padahal di Surabaya, masih ada bangunan bangunan tua, yang statusnya serupa seperti gugusan bangunan Rumah Sakit Kelamin Indrapura dan bangunan rumah di kawasan cagar budaya Perumahan Darmo.

Misalnya, selain bangunan yang ada di jalan Raya Darmo 30, ada bangunan lain seperti bangunan rumah di pojokan jalan Bengawan dan Raya Darmo, yang juga tidak ada placard Cagar Budaya. Juga ada bangunan lainnya, berupa Gapura Ampel di kawasan Ampel.
Padahal ada placard Cagar budaya yang telah tertempelkan pada dinding bangunan masjid Ampel berbunyi “Bangunan Cagar Budaya”. Bukan berbunyi “Situs atau Kawasan Cagar Budaya Ampel”.
Bukan tidak mungkin Gapura Munggah, yang menghadap ke arah jalan Sasak ini, bisa dibongkar atas nama pembangunan karena tidak ada placard cagar budaya. Fakta ini tidak ada bedanya dengan bangunan rumah Darmo 30 dan gapura Ampel yang sama sama tidak memiliki placard, meskipun berada di kawasan cagar budaya. Bangunan Gapura Munggah di kawasan Ampel ini berpotensi dibongkar karena tidak ada perlindungan hukumnya berupa plakard yang menegaskan bahwa gapura itu adalah bangunan cagar budaya.

Hal ini menjadi kekhawatiran warga setempat yang masih punya peduli terhadap sejarah Ampel. Ia adalah Shohib yang tinggal di Pabean Sayangan. Shohib sempat memotret kondisi terkini gapura yang telah ditumbuhi tanaman liar.
Karena memiliki status yang serupa dengan bangunan Darmo 30 dan gugusan bangunan di Rumah Sakit Kelamin, maka harus ada upaya nyata untuk menjaga Gapura Munggah ini. Sebagaimana diketahui bahwa Gapura Munggah ini memiliki jejak aksara Jawa yang menyimpan penanda angka tahun dan berelief rempah rempah sebagai komoditas dagang kala itu. (PAR/nng)