Budaya Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Pengalaman Budaya (Culture Experience) adalah pelestarian budaya, yang dilakukan dengan cara terlibat langsung dan aktif dalam kegiatan, ritual, tradisi, atau seni suatu budaya, sehingga seseorang dapat merasakan dan mengalami kebudayaan tersebut secara mendalam, seperti menabuh gamelan atau mengikuti kegiatan menulis aksara tradisional. Metode ini berbeda dengan culture knowledge, yang lebih fokus pada penyediaan informasi dan edukasi budaya.
Pengalaman budaya sebetulnya tidak hanya oleh pemilik budaya itu, tapi terbuka bagi siapa saja, termasuk bagi wisatawan, yang ingin merasakan pengalaman itu. Learning by doing. Ini akan menjadi pengalaman, yang akan tersimpan dalam ingatan mereka, yang sekaligus menjadi bentuk dokumentasi dalam ingatan.
Melalui ingatan mereka, ada dokumentasi yang tersimpan dalam benak orang lain mengenai suatu budaya atau apapun di suatu tempat.
Dokumentasi melalui ingatan adalah sebuah upaya atau proses untuk mencatat dan merekam pengetahuan, pengalaman, atau peristiwa penting yang tersimpan dalam ingatan individu atau kelompok, sehingga dapat dilestarikan untuk generasi mendatang sebagai bentuk pengingat dan sumber belajar sejarah.
Konsep ini terkait erat dengan ingatan kolektif atau collective memory, di mana ingatan bersama suatu masyarakat mengenai masa lalu dapat dilestarikan.
Setidaknya itulah yang menjadi kunjungan rombongan wisatawan Belanda dalam wadah “De Historisch Nieuwsblad”, yang kali ini mengunjungi Surabaya lagi. Beberapa tahun lalu, grup wisatawan dalam wadah Historisch Nieuwsblad pernah datang ke kota Surabaya, namun Kota Lama belum terkonsep sebagai kawasan wisata sejarah Surabaya.
De Historisch Nieuwsblad Mengenal Budaya Lokal.
Tahun ini sebelum datang ke Surabaya, group Historisch Nieuwsblad telah berkunjung ke Kota Lama Semarang dan disana mereka belajar menabuh gamelan. Usia mereka sudah sepuh.
Di Surabaya, secara umum mereka dapat informasi tentang kilas balik Surabaya, utamanya tentang asal nama Surabaya yang bersumber dari prasasti Canggu dari tahun 1358 M, yang ditulis dalam aksara Jawa kuno atau Aksara Kawi.

Terkait dengan penggunaan aksara daerah, secara historis bahwa aksara ini juga telah dipakai di masjid Kemayoran Surabaya pada pertengahan abad 19. Juga dipakai di lingkungan Ampel di abad 18.
Aksi literasi tradisional ini diduga kuat juga pernah digunakan di kawasan Kota Lama Surabaya sehingga sebuah komunitas aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni, kembali mengenalkan ingatan kolektif di kawasan itu dengan pemasangan banner beraksara Jawa pada lapak lapak usaha PKL.
Dalam kunjungan di kota lama, mereka tidak hanya melihat gedung gedung heritage dari tiga zaman: abad 20, 19 dan 18, tapi juga melihat bentuk aksara Jawa yang tertulis pada banner PKL di sana.
Menurut pimpinan rombongan, Monique Soesman, mereka bukannya datang untuk melihat bangunan dan Arsitektur Kolonial di Kota Lama Surabaya, tetapi mengamati geliat sosial budaya dibalik dan di sela sela bangunan berarsitektur kolonial.

Mereka adalah warga etnis Jawa, Madura dan Tionghoa. Mereka berjualan demi ekonomi. Mereka bertahan menempati ruang dari intrusi pengusaha pendatang yang membuka usaha di kota Lama. Warga lokal harus ikut bermain ekonomi di lingkungan kampungnya. Warga lokal harus tetap menjadi tuan rumah.

Lingkungan peninggalan kolonial adalah ruang, dimana geliat sosial dan budaya masyarakat lokal harus tetap hidup demi pelestarian sosial budaya lokal. Selain menyusuri jalan Mliwis dan Gelatik, dimana berjajar bangunan dari abad 19 dan 18, mereka juga melihat kemegahan bangunan abad 20.

Dari Balik Kemegahan Bangunan Kolonial.

Mereka memasuki bangunan bekas De Javasche Bank, yang kini menjadi Museum Bank Indonesia. Ada benda benda dan artefak, yang menjadi ruangan kasir bank waktu itu. Mereka mengamati interior bangunan. Selain di De Javasche Bank, mereka juga melihat kemegahan bangunan dan arsitektur eks Handelsvereniging Amsterdam (HVA), yang kini menjadi kantor PT Perkebunan I.
Melalui relief relief, yang berbahan porcelain dari Delft Belanda, mereka bisa belajar tentang kekayaan hasil perkebunan di pulau Jawa, yang hasil hasilnya dipakai sebagai dana pembangunan kota Amsterdam.
“Melihat ini semua, saya merasa bersalah”, kata salah seorang wisatawan dari grup De Historisch Nieuwsblad.
Peristirahatan Terakhir Orang Orang Eropa Di Surabaya
Dia ikut empati akan fakta sejarah masa lalu di mana hasil kekayaan masa lalu bangsa Indonesia dibawa ke Belanda. Untuk mengenal lebih dekat dengan orang orang Eropa yang tinggal di Surabaya, rombongan menuju pemakaman Eropa Peneleh.
Dari sekian banyak kuburan, secara khusus mereka melihat keberadaan kuburan Gubernur Jenderal Pieter Merkus, Residen Surabaya Daniel Francois Willem Pietermaat dan Sang peletak dasar bahasa bahasa modern Herman van der Tuuk.

Merekapun mengapresiasi siapapun, yang masih mau menjaga pemakaman orang orang Eropa yang pernah tinggal di Surabaya.
“Para tamu ini kagum karena kuburan kuburan dari abad 19 masih tetap ada”, ujar Monique Soeman sebagai pimpinan Rombongan dalam perjalanan kembali ke hotel, tempat mereka menginap. (PAR/nng)