Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Hari ini, Kamis siang (17/7/25), saya bersiap siap jadi narasumber program RRI Pro 4 Tanjung Perak Siang, Sinau Bahasa dan Aksara Jawa, dengan tema “Melalui Karya Radio Bung Tomo, Turut Merawat Semangat Perjuangan”, yang mengudara mulai pk. 14.00 hingga 15.00.

Disaat menunggu jam udara, saya mencoba mencari data dan informasi terkait dengan riwayat Radio Pemberontakan (Perjuangan) Bung Tomo, yang barangkali menjadi serpihan perjalanan RRI Surabaya (Radio Soerabaia), yang tahun ini (2025) genap berusia 80 tahun.
Saya mengawali penelusuran dengan mengikuti sejarah RRI Surabaya, dimana pada Kamis 27 September 1945 pukul 18.00 WIB, untuk pertama kalinya Radio Surabaya (kini RRI Surabaya) memperkenalkan diri sebagai Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya, melalui gelombang 92-116 dan 150 meter.
RRI Surabaya adalah instansi, yang pertama-tama melakukan perebutan kekuasaan dari tangan Jepang (Soerabaja Hoso Kyoku). Hal ini dinyatakan oleh harian Suara Rakyat, yang terbit 27 September 1953.
Namun, peresmian siaran RRI Surabaya sendiri baru dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1945 dengan menyiarkan pidato sambutan untuk pertama kalinya selaku pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) Gubernur Jatim Suryo, sebagaimana dikutip dari laman RRI Surabaya: https://www.rri.co.id/daerah/962659/hut-ke-79-ini-perjalanan-sejarah-rri-surabaya.
Dalam narasi sejarah RRI Surabaya ini dituliskan bahwa pada tanggal 13 Oktober 1945, untuk pertama kalinya sesudah ada persesuaian pendapat dengan pemerintah daerah, Bung Tomo selaku pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), diberi kesempatan untuk berpidato dimuka corong RRI Surabaya.
Dari momen itulah Bung Tomo mengenalkan Radio Perlawanannya, yang umum disebut “Radio Pemberontakan”, yang mengudara dari jalan Mawar 10 Surabaya. Meski penyelenggaraan siaran di tempat yang berbeda dari stasiun RRI Surabaya, namun teknis siarannya diatur sedemikian rupa, seolah-olah RRI Surabaya siaran dari pemancar Radio Pemberontakan.
Hal ini dilakukan karena pemancar Radio Pemberontakan yang dibuat Bung Tomo belum selesai dan menurut siasat perjuangan yang ditentukan pemerintah waktu itu, harus ada pemisahan secara tegas antara radio resmi RRI Surabaya dan radio pemberontakan Bung Tomo (swasta).
Itulah kali pertama pada 13 Oktober 1945, Bung Tomo menyapa pendengar yang sekaligus mengawali siaran perdana Radio Pemberontakan.
Untuk melengkapi kemasan siaran Radio Pemberontakan Bung Tomo, RRI memberikan musik instrumental yang bernada rancak sebagai jingle program pidato pidato Bung Tomo. Jingle ini diambil dari lagu yang berjudul The Tiger Shark” karya Peter Hodgkinson asal Inggris. Akhirnya lagu instrumental berjudul The Tiger Shark ini identik dengan pidato pidato Bung Tomo.
Melacak Jingle Pidato

Setelah siaran di RRI Pro 4 channel Budaya, A. Hermas Thony yang juga menjadi narasumber siang itu bersama saya, kemudian menelusuri jejak keberadaan lagu instrumental The Tiger Shark di ruangan penyimpanan / koleksi khusus piringan hitam di gedung RRI lantai 2.

Sambil ditemani produser program RRI Afnanihawari, kami diajak menemui Music Director RRI Surabaya, Pataka Swahara Sanja. Kepadanya lah kami tanyakan tentang keberadaan musik instrumental berjudul The Tiger Shark. Ata, demikian panggilan akrab Pataka, menjelaskan tingkat kesulitan mencari keberadaan koleksi musik, yang dirilis sebelum kemerdekaan. The Tiger Shark karya Peter Hodgkinson dirilis tahun 1938.
Jingle instrumental the Tiger Shark, yang dipakai sebagai awalan dan akhiran pidato pidato heroik Tomo, menurut dugaan Ata bahwa jingle itu sudah terinstall dalam perangkat program radio pemancar Bung Tomo sehingga sewaktu waktu Bung Tomo akan pidato, tinggal menyalakan the Tiger Shark untuk memulai dan mengakhiri pidato pidato nya.
“Tidak mungkin untuk mengawali pidato dibuat ribet dengan memutar piringan hitam. Apalagi alat pemancar Bung Tomo itu portable dan posisi siarannya juga berpindah pindah”, terang Ata.
Menanggapi akan permintaan tim Puri Aksara Rajapatni mengenai plaat Piringan Hitam yang berisi lagu instrumental the Tiger Shark, Ata akan mencoba melacak yang barangkali masih tersimpan dalam bentuk plaat piringan hitam.
“Bisa lihat cover platnya, nanti saya carikan barangkali ada”, pinta Ata kepada tim.
Setelah itu Ata mengajak masuk ke ruang koleksi piringan hitam di gedung lantai 2. Menurut nya ada ribuan plaat dan belum di digitalisasi. Melihat banyaknya plaat, mungkin tidak mudah untuk menemukan satu judul dari puluhan ribu judul. Ini bagaikan mencari jarum dalam jerami.
“Satu sisi piringan ini berisi 4 sampai 5 lagu lagu hit”, jelas Ata.
Sungguh banyak koleksi plaat Piringan Hitam (PH) RRI Surabaya. Di dalam ruangan koleksi piringan hitam, berbagai genre musik baik dari dalam dan luar negeri tersimpan di sini.
“Di Indonesia hanya ada satu industri pembuatan PH. Yaitu Lokananta”, terang Ata.

Menurut Ata hasil rekaman, yang disimpan dalam bentuk Piringan Hitam, memiliki kualitas suara yang sangat baik.
“Nanti akan saya kabari ada dan tidaknya plat Piringan Hitam dengan lagu instrumental the Tiger Shark”, pungkas Ata. (PAR/nng).
Terimakasih atas perjuangan teman2 untuk menjaga semangat kejuang 45 di RRI Surabaya…