Manuskrip Surapringga (Surabaya) Ada di Qatar National Library.

Sejarah

Rajapatni.com: SURABAYA – Ada Manuskrip kuno tentang Surabaya. Posisinya ada di Perpustakaan Nasional Qatar (Qatar National Library).

Manuskrip ini tentang “Negari Besar Surapringga” atau “Balad Kabir Surapringga”. Manuskrip ini dikenal dengan nama Manuskrip Bureng karena ditulis di Pondok Pesantren Bureng.

Papan Nama Ponpes Bureng. Foto: nng

Pondok Pesantren Bureng kini beralamat lengkap di Jl Karangrejo VI Masjid II No. 2-4, RT 07/RW 02, Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya. Pondok ini ponpes tua yang sezaman dengan Pondok Pesantren Ndresmo.

Naskah Manuskrip Bureng ini ditulis dalam aksara Pegon dan menggambarkan Surapringga sebagai wilayah penting yang sudah memiliki sistem pemerintahan, alun-alun, masjid besar, dan keraton, yang di kemudian hari wilayah tersebut berubah fungsi menjadi kawasan pemerintah Gubernuran di era kolonial (sekarang Tugu Pahlawan).

Cuplikan Manuskrip Bureng. Foto: ist

Berikut adalah petikan Manuscript yang berbunyi:

Wallâhu a’lam bi al-shawâb wa al-khata. Selesai menulis kitab al-Qur’an al-Karim ini pada hari / Senin, bulan Rabi’ul Akhir [tanggal] 15. Pemilik naskah al-Qur’an ini adalah “Afaroaitum” / dari negeri besar [karesidenan] Cirebon, dari desa Rajagaluh. 

Kitab ini ditulis / di negeri besar Suropringgo [Surabaya], di dalam kampung p.k.w.t [Pakutan] ? mulai / menulisnya. Adapun guru [saya] bernama Kyai Muhammad Syarof. / Adapun [?] menulis ada di kampung Bureng. Selesai pada hari Senin / bulan Rabiul Awal tanggal 8, tahun Hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah 1274, bertepatan dengan tahun [Jawa Mataram] Jumakir”. (burengsby.com dan Diaz Nawaksara).

Menyimak angka tahun 1274 H sama dengan tahun 1852 M karena selisih Hijriah ke Masehi sekitar 578 tahun. Jadi 1274 + 578 = 1852.

Bangunan masjid utama dengan bentuk segi delapan. Foto: kitlv.nl

Tahun 1852 ini sezaman dengan pendirian Masjid Surapringga (Raudlatul Musyawarah) di Kemayoran, Krembangan pada 1772-1776 tahun Jawa atau 1848 – 1853 M.

Menyimak sebagian isi Manuskrip, tersebut nama Cirebon, memang kala itu, Surapringga dan Cirebon sudah terhubung dalam kaitan perdagangan. Hubungan Surabaya dan Cirebon di masa lalu sebagian besar adalah melalui perdagangan maritim dan penyebaran agama Islam. Cirebon berperan sebagai pusat penting penyebaran Islam dan perdagangan di Jawa Barat, sementara Surabaya memiliki pelabuhan penting dan menjadi pusat dagang di Jawa Timur, keduanya terhubung melalui jalur pelayaran dan jaringan pedagang Muslim yang saling mengenal.

Hubungan Surabaya dan Cirebon ini terbukti adanya makam Sultan Banten di komplek pemakaman para bupati Surabaya di Boto Putih. Makam Sultan Banten di Botoputih ini istimewa. Terbuat dari marmer dan bercungkup ala kolonial. Makamnya berdekatan dengan makam petinggi Surabaya, Pangeran Lanang Dangiran atau disebut Ki Ageng Brondong, yang meninggal tahun 1638 M.

Cungkup makam Sultan Cirebon di surabaya. Foto: ist

Adapun riwayat singkat Sultan Banten ini adalah bahwa sang Sultan mengalami pembuangan oleh Belanda. Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin begitu nama lengkapnya, yang merupakan Sultan Banten terakhir dan wafat di saat pembuangan di Surapringga pada tahun 1899.

Sultan Safiudin, Raja Banten XVII diturunkan dari jabatannya sebagai sultan Banten oleh Belanda. Sultan yang lahir dari garis keturunan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sultan Safiudin pada tahun 1832 dibuang ke Surabaya. Keluarga Sultan Safiudin yang memiliki uang ikut dengan Sultan ke Surabaya, sedangkan yang tidak punya uang menyingkir ke Menes, Pandeglang.

Dalam pembuangan itu, keluarga sultan tidak membawa apa-apa. Sepanjang 1832-1945 Sultan Safiudin beserta keturunannya tidak diizinkan untuk datang ke Banten. Semua kekayaan Sultan Safiudin, termasuk mahkota dan permainan congklak yang terbuat dari emas dan zamrud, diambil Belanda. Sementara itu Sultan Safiudin juga masih harus membayar pajak atas perkebunan kelapa miliknya yang ada di Banten.

Makam Raja Banten di Surabaya. Foto: ist

Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin lahir pada1801. Kemudian meninggal di Surabaya pada 1898 (umur 96–97) dan dimakamkan di Pemakaman Boto Putih, Surabaya.

Secara faktual hubungan Surabaya dan Cirebon ada di pemakaman para bupati di Botoputih Pegirian Surabaya.

Secara literatif hubungan Surabaya (d/h Surapringga) dan Cirebon tertulis pada manuskrip Bureng yang sekarang ada di Qatar National Library.

Ayo siapa mau menelusuri sejarah Surabaya di Qatar? Mumpung masih ada jejaknya. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *