Rajapatni.com: Surabaya (2/5/24) – KOTA Surabaya sebagai kota modern ternyata menyimpan jejak sejarah yang masih bersifat tradisional. Yaitu aksara Jawa dalam berbagai bentuk mulai prasasti hingga inskripsi. Jejak ini begitu penting bagi kota Surabaya. Karenanya, semua menjadi daya tarik bagi pegiat aksara Jawa, yang tergabung dalam komunitas ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, sebuah komunitas budaya yang khusus membidangi aksara Jawa.
Para pegiat dan aktivis dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda béda itu menganggap bukti bukti sejarah itu sebagai ꦥ꦳ꦏ꧀ꦠꦌꦩ꧀ꦥꦶꦫꦶꦱ꧀ fakta empiris yang menegaskan bahwa Aksara Jawa adalah media komunikasi tulis yang pernah dipakai di Surabaya. Jadi aksara Jawa tidak hanya dipakai di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tapi aksara Jawa juga digunakan di Surabaya. Peninggalan sejarah itu ada di Surabaya.

ꦥ꦳ꦏ꧀ꦠꦥꦼꦂꦠꦩ Fakta pertama adalah prasasti Surapringga di masjid Kemayoran. Dikatakan Prasasti Surapringga karena dalam prasasti itu disebut nama Surapringga dua kali. Surapringga adalah nama lain kota Surabaya ketika sistem pemerintahan di Surabaya masih bersifat klasik dan tradisional. Mengetahui dan bahkan mempelajari sistem pemerintahan kota Surabaya adalah bagian dari memaknai èsènsi peringatan Hari Jadi Kota Surabaya yang jatuh di bulan Mei ini.
Kota Surabaya dalam peringatan Hari Jadinya memang harus berorientasi pembangunan ke masa depan (future Oriented development), tetapi tidak boleh melupakan perjalanan sejarahnya yang bagaimanapun telah menghantarkan ꦯꦸꦫꦨꦪ Surabaya hingga saat ini.
Salah satu dari rona peradaban sejarah itu adalah sejarah sistem pemerintahan. Informasi sistem pemerintahan kota Surabaya Ada di prasasti ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga Masjid Kemayoran Surabaya. Disana disebutkan nama kepala daerah atas sistem pemerintahan daerah. Selain ada nama Bupati Surabaya (dahulu Surapringga), juga Ada Residen Surabaya (dahulu Surapringga).
Informasi tertulis dalam bentuk prasasti yang terbuat dari lempeng tembaga terinskripsi dalam aksara Jawa. Prasasti ini sangat istimewa. Maklu

ꦥ꦳ꦏ꧀ꦠꦏꦼꦣꦸꦮ Fakta Kedua adalah Inskripsi di salah satu gapura di komplek Makam dan Masjid Sunan Ampel. Ada lima gapura di komplek ini yang menggambarkan 5 rukun Islam. Sementara inskripsi aksara Jawa terdapat pada gapura Munggah yang terletak di paling selatan dan menghadap selatan-utara, persisnya menghadap ke jalan Sasak.
Kelima gapura yang berbentuk paduraksa ini bernama Lima gapura itu adalah Gapuro Paneksen, Gapuro Mangadep, Gapuro Poso, Gapuro Ngamal, dan Gapuro Munggah. Pada masing masing gapura ini menjadi media untuk menyampaikan pesan pesan. Yaitu pesan bahwa rempah rempah adalah produk Nusantara dan pesan pesan itu ada di Jawa di era Majapahit. Maka, pesan berupa relief itu menjadi bentuk legitimasi formal kala itu bahwa rempah rempah adalah produk ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Nusantara.
Tidak hanya pesan berupa produk komoditi rempah rempah yang ada pada Gapura gapura, ada juga pesan berupa inskripsi beraksara Jawa. Pesan ini terukir pada blandar kayu pada gapura paling selatan, yang disebut ꦒꦥꦸꦫꦩꦸꦁꦒꦃ Gapura Munggah.

ꦥ꦳ꦏ꧀ꦠꦏꦼꦠꦶꦒ Fakta Ketiga adalah inskripsi batu bertulis di komplek Pesarean Sentono Agung Botoputih di jalan Pegirian. Di salah satu petak berpagar dan berisi beberapa kuburan tua, di sana terdapat kuburan berukir dan beraksara Jawa. Belum diketahui apa isi inskripsi itu. Komplek Pesarean Boto Putih ini adalah komplek pesarean para pemimpin Surabaya. Kuburan berukir dan beraksara Jawa ini akan menambah literasi sejarah Surabaya jika kelak isi inskripsi ini terungkap.
Atas semua inskripsi beraksara Jawa mulai dari Masjid Kemayoran, Gapura Ampel dan Pasarean Agung Sentono Boto Putih ini akan menjadi jujugan para pegiat dan aktivis Aksara Jawa ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni dalam kegiatan Sinau Aksara Jawa.
“Ini fungsinya sinau aksara Jawa. Bisa mendekatkan ke jejak peradaban masa lalu” kata Nanang, Ketua ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni. (Tim PAR).*