AKSARA
Rajapatni.com: SURABAYA – Herman Neubronner van der Tuuk, orang Indo-Belanda ꧌ꦏꦼꦭꦲꦶꦫꦤ꧀ꦩꦭꦏ꧍ kelahiran Malaka, sungguh inspiratif, khususnya terkait dengan literasi bahasa bahasa ꧌ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ꧍ Nusantara. Ia adalah peletak dasar linguistik modern beberapa bahasa, yang dituturkan di Nusantara, seperti bahasa Melayu, ꧌ꦗꦮ꧍Jawa, Sunda, Batak Toba, Lampung, ꧌ꦏꦮꦶ꧍ Kawi (Jawa Kuno), dan Bali.
Bahkan dalam buku ”Mirror of the Indies”, Rob Nieuwenhuys yang mengutip ꧌ꦏꦺꦴꦩꦺꦤ꧀ꦠꦂ꧍ komentar seorang pendeta Bali (pedanda), yang sangat berpengaruh ketika itu, yang mengatakan: “Hanya ada satu orang di seluruh ꧌ꦥꦼꦚ꧀ꦗꦸꦫꦸꦧꦭꦶ꧍ penjuru Bali, yang tahu dan paham bahasa Bali, orang itu adalah Tuan Dertik (Mr. Van der Tuuk).
Pun ꧌ꦝꦼꦩꦶꦏꦶꦪꦤ꧀꧍ demikian dengan bahasa dan aksara Jawa (Kuna), yang umum disebut Kawi. Dia, orang indo-Belanda yang ngindonesiani (menjiwai kultur Indonesia). Makamnya ada di Pemakaman ꧌ꦌꦫꦺꦴꦥ꧍ Eropa Peneleh, ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya.

꧌ꦏꦼꦕꦶꦤ꧀ꦠꦄꦤ꧀꧍ Kecintaan H. N. Van der Tuuk menjadi kaca benggala bagi orang Indonesia asli sendiri. ꧌ꦏꦼꦠꦶꦏ꧍ Ketika ada orang Indo-Belanda, yang suka bahasa bahasa dan ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦝꦲꦺꦫꦃ꧍ aksara daerah, kenapa banyak orang ꧌ꦅꦟ꧀ꦝꦺꦴꦤꦺꦱꦾ꧍ Indonesia asli sendiri justru melupakanya (tidak menggunakannya)?

Sampai kemudian ꧌ꦩꦸꦚ꧀ꦕꦸꦭ꧀ꦒꦒꦱꦤ꧀꧍ muncul gagasan dan gerakan oleh segelintir penggiat aksara Nusantara untuk menominasikan ꧌ꦥꦼꦔ꧀ꦒꦸꦤꦄꦤ꧀꧍ penggunaan aksara tradisional ke UNESCO.
Jika kita menggunakan ꧌ꦥꦼꦤꦸꦭꦶꦱꦤ꧀ꦄꦏ꧀ꦱꦫ꧍ penulisan aksara tradisional secara masif, maka tidak mungkin ada upaya ꧌ꦩꦼꦟ꧀ꦝꦥ꦳꧀ꦠꦂꦑꦤ꧀꧍ mendaftarkan ke UNESCO karena “aksara tradisional masih digunakan”.
Upaya ini sungguh tidak mudah. Hal ini seperti upaya ꧌ꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦃ꧍ pemerintah Indonesia, yang mengajukan ke UNESCO bahwa rempah rempah adalah produk Nusantara (Indonesia). Jika ꧌ꦩꦯꦫꦏꦠ꧀꧍ masyarakat Indonesia sendiri tidak pernah menggunakan rempah-rempah, mana ꧌ꦩꦸꦔ꧀ꦏꦶꦤ꧀꧍ mungkin UNESCO menganugerahkan status Jalur Rempah untuk Indonesia, seperti ꧌ꦗꦭꦸꦂꦱꦸꦠꦿ꧍ Jalur Sutra (Silk Route) untuk China.
Semua kembali ke penggunanya ꧌ꦱꦼꦧꦒꦻ꧍ sebagai jawaban. Seperti halnya dengan bahasa dan aksara. Jika masih ada ꧌ꦎꦫꦁ꧍ orang daerah (asli Indonesia) mencibir aksaranya sendiri, ꧌ꦄꦥꦏꦃ꧍ apakah tidak malu sama Van der Tuuk.
Terhadap Van der Tuuk mungkin ꧌ꦠꦼꦫꦱ꧍ terasa sangat jauh jaraknya karena ia hidup di abad 19. Yang paling dekat adalah terhadap ꧌ ꦩꦶꦏ꦳ꦶꦭ꧀ꦌꦝꦸꦮꦉꦢ꧀꧍ Michiel Eduard, anak angkat Wieteke Van Dort, karena Michiel adalah generasi abad 21. Ia juga orang Indo, yang tinggal di ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda dan warga negara Belanda.
Ia warga Belanda tapi lekat dengan budaya ꧌ꦭꦶꦠꦼꦫꦱꦶꦗꦮ꧍ literasi Jawa. Aksara Jawa menyatu dengan dirinya. Kemanapun dia pergi, kemanapun dan dimanapun serta kapanpun, aksara Jawa itu bersamanya. Itu karena Michiel mentato tubuhnya dengan aksara Jawa.
Kini Michiel dan tim, yang di dalamnya ada ꧌ꦎꦫꦁꦗꦮ꧍ orang Jawa, asli, yang tinggal di Jawa, Ita Surojoyo, sedang mempersiapkan sebuah buku anak yang berbahasa Belanda dan beraksara Jawa. Buku dongeng itu ditulis oleh almarhumah Wieteke van Dort, penyanyi dan artis terkenal Belanda asal ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya.
Bagaimanapun Herman N. Van der Tuuk telah memberikan esensi ꧌ꦅꦤ꧀ꦰ꧀ꦥꦶꦫꦱꦶ꧍ inspirasi pelestarian budaya literasi kepada generasi ꧌ꦭꦶꦤ꧀ꦠꦱ꧀꧍ lintas zaman. Ada esensi kearifan lokal di sana.
Renovasi
Karena ꧌ꦩꦸꦮꦠꦤ꧀꧍ muatan kearifan lokal itulah, maka makam Herman N. Van der Tuuk pernah masuk dalam daftar 10 makam, yang rencananya “dihidupkan” dalam project The Living Library (Perpustakaan Hidup) 2024 dengan ꧌ꦏꦸꦕꦸꦫꦤ꧀꧍ kucuran dana dari Dutch Culture Belanda.
Masih perlu perbaikan

Sayang makam,yang menjadi ꧌ꦠꦼꦩ꧀ꦥꦠ꧀꧍ tempat peristirahatan terakhir Herman Neubronner Van der Tuuk, ꧌ꦒꦱꦶꦃ꧍ masih terlihat sama dari sebelum dan sesudah project The Living Library 2024 rampung. Kecuali tiang ꧌ꦈꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀꧍ untuk rencana papan informasi tentang van der Tuuk yang sudah berdiri.
Tahun 2025 ini ꧌ꦩꦸꦚ꧀ꦕꦸꦭ꧀꧍ muncul lagi gagasan untuk memperbaiki makam Herman Neubronner Van der Tuuk. ꧌ꦒꦒꦱꦤ꧀꧍ Gagasan ini datang dari warga Belanda, yang menaruh perhatian kepada Van der Tuuk, yang hidupnya didedikasikan pada ꧌ꦧꦸꦢꦪ꧍ budaya literasi Nusantara, khususnya bahasa bahasa daerah Nusantara.

Pada Kamis siang (18/9/25) atas keinginan ꧌ꦩꦶꦏ꦳ꦶꦭ꧀ꦌꦝꦸꦮꦉꦢ꧀꧍ Michiel Eduard, dilakukan peninjauan terhadap makam Herman N. Van der Tuuk di pemakaman ꧌ꦌꦫꦺꦴꦥ꧍ Eropa Peneleh. Kondisinya memang perlu diselamatkan karena dinding samping kiri-kanan dan belakang sudah tergerus. Plester dinding sudah ꧌ꦩꦼꦔꦼꦭꦸꦥꦱ꧀꧍ mengelupas dan terjadi ceruk, yang cepat atau lambat akan bolong. Ceruk ini perlu diplester.

Dasar makam (pedastal) juga perlu dibenahi (diplester), ꧌ꦠꦼꦂꦩꦱꦸꦏ꧀꧍ termasuk menutup lobang di bagian depan makam dan memberi nomor registrasi.
Ini perlu penanganan segera ꧌ꦱꦼꦧꦼꦭꦸꦩ꧀꧍ sebelum bagian tubuh makam yang berupa tugu itu roboh. Jika sudah roboh, malah akan lebih sulit penyelamatannya.
Bagi ꧌ꦩꦶꦏ꦳ꦶꦭ꧀ꦌꦝꦸꦮꦉꦢ꧀꧍ Michiel Eduard, sebagai ketua Yayasan Anak Emas (Stichting Anak Emas) yang ada di Belanda, Herman N Van der Tuuk sangat berarti baginya karena Michiel juga orang yang menaruh ꧌ꦥꦼꦂꦲꦠꦶꦪꦤ꧀꧍ perhatian pada budaya bahasa. Makam dimana Herman van der Tuuk diistirahatkan pada 1894, menjadi satu liang lahat ꧌ꦧꦼꦂꦰꦩ꧍ bersama pendahulunya Meester (seorang hukum) S van der Tuuk, yang tidak lain adalah mantan Kepala Pengadilan Raad Van Justitie Surabaya yang ꧌ꦩꦼꦤꦶꦔ꧀ꦒꦭ꧀꧍ meninggal tahun 1853. Ia adalah petinggi Surabaya kala itu.
S

Rencananya mantan produser musik ꧌ꦮꦶꦠꦼꦏꦼ ꦮ꦳ꦺꦴꦤ꧀ ꦝꦺꦴꦉꦠ꧀꧍ Wieteke Van Dort, yang sekaligus anak angkat Wieteke, akan datang ke Surabaya pada awal November 2025 untuk secara langsung melihat kondisi makam tokoh linguistik bahasa bahasa daerah di Nusantara ini. Bersambung …… (PAR/nng)