Konsep Triloka Untuk Mengenal Majapahit.

Budaya

Rajapatni.com: SURABAYA – Dalam kultur Jawa, ada konsep tata ruang: Njaba, Tengah dan Njero yang sudah menjadi bagian dalam filosofi kehidupan. Konsep ini umumnya diterapkan pada pembagian tata ruang lingkungan rumah.

Njaba (luar) merupakan ruang publik, Tengah sebagai ruang semi-publik, dan Njero (dalam) sebagai ruang privat untuk keluarga. Konsep ini mencerminkan filosofi kehidupan yang berjenjang dari interaksi sosial hingga ke privasi.

Konsep njaba, tengah, dan njero sesungguhnya adalah sebuah kerangka pikir tradisional dalam budaya Jawa untuk memahami dunia dan manusia sebagai tiga tingkatan yang saling terkait, mulai dari yang terluar (njaba/luar), pertengahan (tengah), hingga yang terdalam atau batin (njero/dalam).

Konsep ini juga sering digunakan dalam konteks seni, arsitektur, dan pembentukan kepribadian, di mana setiap tingkatan memiliki makna dan fungsi tersendiri, yang menunjukkan proses pemahaman diri dari hal yang terlihat hingga yang tidak terlihat.

Konsep ini juga merupakan salah satu peninggalan budaya prasejarah yang kaya akan nilai sejarah, spiritualitas, dan kebudayaan. Di Gunung Penanggungan (Pawitra), banyak terdapat bangunan percandian dan situs, yang menggunakan konsep ini yang secara fisik berundak. Yakni berundak tiga dengan orientasi puncak Pawitra.

Pun demikian dengan konsep penataan ruang atau tata kota yang diyakini juga ada di era Kerajaan Majapahit, yang menampilkan struktur tiga tingkat atau tiga tingkatan. Pola ini seringkali dikaitkan dengan pola tata ruang candi, bangunan, dan pemukiman, yang menunjukkan hubungan ruang yang jelas.

Tata ruang dalam arsitektur Bali
Foto: ist

Praktik aplikasi tata ruang ini masih diterapkan di Bali. Konsep ini merujuk pada Pola Ruang Tri Punden Berundak, yang secara arsitektural menggambarkan tiga tingkatan ruang, yang dimulai dari tingkat spiritual yang tertinggi hingga yang terendah, atau pada konsep spiritual disebut Tri Bhuwana, yang membagi alam semesta menjadi tiga tingkatan. Yaitu Bhur Loka (bumi), Bhuwah Loka (alam tengah), dan Swah Loka (alam atas).

Konsep itu juga dikenal sebagai Triloka. Konsep ini dipresentasikan di Candi Jolotundo di lereng gunung Penanggungan. Tulisan Triloka terpahat pada batu dalam aksara Jawa baru yang berbunyi “Candi Triloka Jalatunda”.

Candi Triloka Jalatunda. Foto: ist

Praktik penerapan konsep ini sesungguhnya mengandung ajaran berdasarkan Tri Hita Karana. Yaitu konsep kehidupan yang mengedepankan keseimbangan, dimana konsep tersebut mencakup prinsip prinsip kehidupan yang seimbang dan harmonis. Yaitu hubungan manusia dengan alam atau palemahan (Njaba), hubungan manusia dengan manusia atau pawongan (tengah) dan hubungan manusia dengan Tuhan atau Parahyangan (Njero).

Di Jawa juga banyak diterapkan dalam konsep tata ruang pemakaman para wali, di mana antar ruang dihubungkan dengan gapura yang bergaya Gapura Bentar dan Gapura Paduraksa.

Gapura Bentar seperti di candi Wringin Lawang merupakan gapura tanpa atap (terpisah/terbelah) sebagai penanda awal suatu kawasan, dan berfungsi untuk memisahkan ruang luar dan ruang dalam yang lebih pribadi atau suci.

Sementara itu, gapura Paduraksa seperti di Candi Bajang Ratu memiliki atap penghubung sebagai penanda atau gerbang menuju bangunan atau kawasan yang dianggap lebih suci atau penting.

Konsep ini sebagaimana ada di komplek keraton atau pura. Konsep ini juga sangat layak diimplementasikan bila kelak dibangun konsep tata ruang komplek Museum Majapahit. Sementara yang ada di Trowulan adalah Pusat Informasi Majapahit (PIM). Konsep tata ruang Museum Majapahit sendiri, terhitung lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran luas komplek ibukota Majapahit, bisa menjadi wahana ilmu pengetahuan dan pendidikan untuk mengenal Majapahit. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *