Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Secara harfiah “Historische Nieuwsblad” berarti “Surat Kabar Sejarah”. Namun “Historische Nieuwsblad” juga dipakai untuk sebuah kelompok perjalanan wisata yang menjelajah sejarah di eks Hindia Belanda yang sekarang bernama Indonesia.

Group ini kembali datang ke Jawa Timur tahun dengan agenda kunjungan di Surabaya dan Pasuruan. Menurut pimpinan rombongan Monique Soesman bahwa agenda melihat bangunan bangunan kolonial sebagai peninggalan angsa eropa. Tetapi lebih mengenal sejarah terkait sosial, budaya dan peradaban bangsa Eropa dan Jawa.

Tamu tamu dalam rombongan ini menurut Monique Soesman adalah orang orang akademisi, hakim, sejarawan, budayawan, wartawan dan penulis yang menaruh perhatian pada sejarah peradaban bersama.
Misalnya salah satu dari rombongan Historische Nieuwsblad adalah Bert yang neneknya terlahir di atas perahu. Sedari dulu dia hanya mengenal kata perahu hingga usia tua. Dia belum pernah melihat perahu secara nyata.
Dalam kunjungannya ke Pasuruan dia punya kesempatan melihat perahu secara nyata. Alangkah senangnya dia. Hari bercampur bahagia terlihat di wajahnya dengan disertai suara yang bergetar saat di wawancara.

“Baru kali ini saya melihat perahu. Seperti itu ya”, ungkapnya sambil menatap ke sebuah perahu yang bergerak masuk ke sungai dari arah laut.
Sore itu pelabuhan Pasuruan air kalinya surut sehingga perahu perahu yang sedang ngetok tidak terapung di atas air tapi menumpang di dasar pinggiran sungai. Dalam kondisi seperti itu hanya perahu kecil yang bisa berjalan tapi di tengah sungai.
Warna warni cat perahu yang mencolok menjadi perhatian para wisatawan.
“Why is that?”, tanya Bert.
Dijelaskan bahwa penggunaan warna mencolok karena alasan alam. Dari kejauhan perahu gampang dilihat. Warna mencolok juga sama dengan gaya dan kebiasaan masyarakat pesisir yang kalau berbicara terbiasa dengan nada keras. Suara alam yang bergemuruh ombak dan suara angin mengakibatkan masyarakat pesisir berbicara keras melawan alam.
Hal hal seperti itulah yang para wisatawan ini inginkan. Mereka juga memperhatikan masyarakat yang berjualan di tepian sungai. Pada sore itu mereka sibuk bersiap siap buka dagangan dengan menggelar tikar di tepian sungai.
Geliat mereka menjadi Object budaya menarik yang tidak lepas dari sorot kameranya. Sebagai pengunjung lokal sudah ada yang duduk di kursi panjang dari bambu. Ada ibu ibu, anak anak dan remaja susah bersenda gurau.Tak ayal interaksi mereka adalah giliran sosial budaya yang dicari. Tentunya ini kebiasaan yang berbeda dari negaranya.
Bert bisa membayangkan bagaimana dulunya neneknya berinteraksi sebagai anak yang dilahirkan di atas perahu.
Diapun sudah membayangkan suasana di pinggiran sungai yang penuh canda pada sore itu. Ada stand stand penjual minuman saset, jus buah, aneka sosis bakar, termasuk yang tradisional jagung bakar. Sebuah potret lokal yang bisa dibawa pulang ke Eropa. (PAR/nng)