Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo, menjadi perhatian seorang produser film dari Belanda yang berbendera rumah produksi “Miron Production”. Secara umum production house ini ingin mendokumentasikan kisah pembebasan interniran dari penjara Kalisosok tepat pada saat pecah perang 10 November 1945. Film dokumenter ini dibuat berdasarkan kesaksian interniran yang tinggal di Belanda.
Selama berada di Surabaya, Miron, sang produser, sempat bertemu putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo di sela sela kedatangannya di Surabaya dalam rangka peringatan Hari Pahlawan pada November 2023.
Dalam pertemuan itu Miron ingin mendapatkan pendapat dan pandangan dari Bambang Sulistomo selaku putra Bung Tomo mengenai perang Surabaya. Pertemuan berlangsung di sebuah hotel di jalan Basuki Rahmat Surabaya.
Perbincangannya tidak formal dan untuk konsep dokumenter ini. Itu pinta Miron kepada Bambang sambil bersiap menata seperangkat kamera videonya.

Bisa diduga pertanyaan Miron ke Bambang Sulistomo. Diantaranya adalah terkait dengan Rumah di jalan Mawar 10. Yaitu mengenai peran ayahanda Bung Tomo dengan radio pemberontakannya.
Selain itu Bambang Sulistomo juga berbagi pesan tentang tentang apa yang seharusnya bisa dilakukan oleh generasi sekarang dan mendatang dalam mewarisi semangat kejuangan dan cita cita para pendahulu bangsa, yang telah memerdekaan bangsa dari belenggu penjajahan.
Menurut Bambang, ketika mengawali cerita tentang pejuang pejuang Surabaya pada perang 10 November 1945 adalah bahwa apa yang mereka lakukan adalah wujud nyata ekspresi sebagai hak warga negara. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Apa yang dilakukan pejuang pejuang Indonesia, yang ada di Surabaya kala itu, adalah mempertahankan kedaulatan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Mereka adalah arek arek Surabaya meski ada yang datang dari luar kota atau luar daerah.
Karenanya Bung Tomo ketika menyeru dan memanggil pemuda pemuda dengan latar belakang kedaerahan yang beragam, Ia mampu menyatukan segala perbedaan itu menjadi kekuatan bersama.
“Kekuatan seperti itu jangan sampai hilang. Itu yang harus diwarisi oleh generasi sekarang dan mendatang”, kata Bambang menyadari keberagaman etnis di Surabaya.
Bambang lantas mengenang dan menerawang saat saat Ayahanda di Surabaya pada masa perang 10 November 1945, yang kala itu berlatar belakang sebagai jurnalis, yang turut berjuang sesuai yang bisa dan mampu dilakukan. Kekuatan orasi jurnalistiknya mampu menjadi senjata dalam melawan Sekutu.
Kini, masa telah berganti dan perjuangan demi bangsa ini telah berubah wujud. Tidak lagi angkat senjata, tetapi angkat profesi sesuai kemampuan.
“Bagi mereka yang masih pelajar atau mahasiswa, berjuangnya ya belajar sebaik baiknya. Bagi mereka sebagai pekerja, ya bekerja sebaik baiknya. Bagi mereka sebagai dokter, ya melayani masyarakat semaksimal mungkin”, jelas Bambang dalam mendefinisikan ulang perjuangan pada masa sekarang.
Karenanya ia berharap bahwa generasi sekarang selain harus tetap ingat sejarah seperti yang pernah diucapkan Soekarno “Jas Merah”, mereka juga harus senantiasa ingat pada perjuangan untuk masa depan bangsa untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan para pendahulu bangsa.
Dalam kesempatan bermalam minggu di Surabaya pada 11 November 2023, Astrid Sulistomo, istri Bambang Sulistomo, juga turut berbagi pandangan dalam mengisi ruang kemerdekaan. Menurutnya semua warga negara dapat berperan sesuai kemampuan dan profesinya.
Astrid Sulistomo adalah seorang profesional di bidang kedokteran dan akademisi di bidang pendidikan tinggi. Dua profesi yang dilakoninya ini adalah jalur perjuangan dalam mengisi kemerdekaan.
Diskusi santai di sela sela kunjungannya ke Surabaya dalam rangka peringatan Hari Pahlawan Nasional ini menambah esensi peringatan Hari Pahlawan bagi pasangan Bambang dan Astrid Sutomo dan apalagi bisa berbagi pandangan dengan sineas Belanda, yang membuat film dokumenter tentang perang Surabaya.
Sementara itu menurut Miron, produser film dokumenter 10 November 1945, film dokumenter ini memandang peristiwa 10 November 1945 dari tiga sudut pandang negara yang terlibat perang kala itu. Yaitu Indonesia, Inggris dan Belanda.
Miron menambahkan bahwa film ini menjadi media edukasi di masyarakat Belanda tentang sejarah masa lalu di Surabaya. Film ini juga sekaligus menjadi jembatan pemahaman antar dua negara dalam menatap dan membangun kerjasama di bidang kebudayaan. (PAR/nng)