Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Berbagai kompetisi dengan menggunakan Bahasa Jawa seperti lomba cerpen, komedi tunggal, pidato, mendongeng, puisi, nembang hingga menulis aksara Jawa akan menjadi agenda Dinas Pendidikan Kota Surabaya dalam meramaikan agenda wajib berbahasa Jawa “Kamis Mlipis” setiap hari Kamis di kalangan sekolahan SD dan SMP di Surabaya.
Pemajuan Kebudayaan Jawa dalam bentuk literasi lisan dan tulis memang harus maju bersamaan. Melalui praktik menulis, bukannya menulis dengan menggunakan Abjad Roman (Latin), tetapi Abjad asli budaya Jawa. Yaitu Carakan Hanacaraka, yang masih menjadi materi pembelajaran yang diterapkan di sekolah.
Menyertakan belajar Aksara Jawa (Hanacaraka) dalam rangkaian wajib berbahasa Jawa adalah mengenai pembelajaran tentang unggah-ungguh, yaitu tata krama dan sopan santun dalam berbahasa Jawa. Unggah ungguh ini berkaitan dengan bagaimana cara berbicara (lisan) yang tepat sesuai dengan siapa lawan bicara dan situasi, termasuk penggunaan tingkatan bahasa Jawa seperti Ngoko dan Krama.
Training of Trainers (ToT).
Disadari bahwa tidak semua guru Bahasa Jawa menguasai Aksara Jawa untuk diajarkan, maka melalui pelajaran Aksara Jawa, akan ada kesempatan mengajarkan unggah ungguh bahasa di saat mengajarkan Aksara Jawa.
Dalam mempelajari dan belajar Aksara Jawa, siswa tidak hanya belajar menulis dan membaca, tetapi juga diperkenalkan pada nilai-nilai budaya dan etika, yang terkandung dalam bahasa Jawa, termasuk unggah-ungguh.

Dengan demikian, belajar Hanacaraka tidak hanya tentang menguasai aksara, tetapi juga tentang memahami dan menerapkan unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa sebagai bagian dari kekayaan budaya.
Wajib berbahasa Jawa setiap hari Kamis bagi kalangan sekolah SD dan SMP dan sederajat di kota Surabaya, yang disebut “Kamis Mlipis” adalah terobosan kuantum (quantum breakthrough) di dalam kehidupan modern Kota Besar Surabaya yang heterogen dan Metropolis.
Terobosan ini sekaligus tantangan. Upaya ini adalah upaya menjaga, melindungi dan melestarikan budaya Jawa sebagai bagian dari pelestarian budaya bangsa.
Penggagas Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya, A. Hermas Thony (mantan Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya), mengapresiasi langkah Pemerintah Kota Surabaya dalam pelestarian budaya Jawa di tengah tengah masih adanya orang orang Jawa, yang lupa pada Jawanya (wong Jawa ilang Jawane = orang Jawa kehilangan budaya Jawanya).
“Ini namanya ngusumke berbudaya Jawa. Yaitu membiasakan berbicara secara sosiolinguistik yang tepat dan benar. Siswa diajak membiasakan diri menggunakan penggunaan bahasa daerah yang tepat dengan siapa mereka berbicara”, kelas Thony.
Berbicara yang tepat dan benar secara sosiolinguistik ini bagai berbicara dan menggunakan bahasa Indonesia yang baik (tepat dan benar). Berbicara bahasa Jawa pun juga seperti itu, harus baik (tepat dan benar).
“Penjelasan teori mengenai tepat dan benar secara sosiolinguistik bisa diwadahi dalam pembelajaran Aksara Jawa. Aksara Jawa ini tidak hanya perkara TULIS dan BACA, tapi menjadi landasan WICARA yang baik”, tambah Thony, Pembina Komunitas Aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni.
Berdasarkan tinjauan hukum sebab-akibat alami (natural Cause and Effect), hukum ini juga berlaku dalam dunia pengajaran dan pembelajaran bahasa dan aksara Jawa.
Karenanya Thony menggagas dan sekaligus mengusulkan adanya pelatihan pengajaran Aksara Jawa praktis bagi guru guru bahasa Jawa dalam bentuk Program Training of Trainers (ToT). Dari jaringan peserta ToT, masing masing trainer bisa menularkan ketrampilan dan pengetahuannya ke sesama guru di sekolah masing masing.
Menyadari akan kebiasaan pengajaran Bahasa dan Aksara (nature of teaching Javanese language and script), maka keberadaan Aksara pun harus diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) agar bisa saling mendukung dengan keberadaan Bahasa, yang sudah ada dalam 10 Object Pemajuan Kebudayaan (OPK). Karenanya Thony selaku inisiator Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya, memasukkan Aksara Jawa sebagai satu Object penting yang perlu dilestarikan. Yaitu Aksara.
“Kelas Aksara Jawa bisa menjadi cara sebagai kelas landasan teori mengajarkan unggah ungguh dalam berbicara bahasa Jawa, karena Aksara Jawa bukan sekedar Baca (ꦮꦕ) dan Tulis (ꦤꦸꦭꦷꦱ꧀), tapi mengajarkan kesopanan dalam Wicara (ꦮꦷꦕꦫ)”, pungkas Thony. (PAR/nng).