Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Presiden Prabowo Subianto baru pulang dari kunjungan di Belanda dan membawa hasil kerjasama budaya berupa repatriasi. Pemerintah Belanda mengembalikan 30 ribu artefak asal Nusantara. Pengembalian ini dianggap sebagai langkah monumental untuk mengembalikan identitas dan warisan budaya Indonesia.
Sekali lagi, langkah ini merupakan bentuk itikad baik dan komitmen Belanda untuk mempererat hubungan diplomatik dengan Indonesia. Ini juga merupakan langkah penting dalam upaya mengembalikan identitas budaya dan sejarah bangsa yang sempat hilang.
Sekali lagi, apakah bangsa Indonesia sendiri, mulai dari masyarakat hingga pengambil kebijakan, mengerti arti menjaga warisan budaya. Menjaga bukan hanya sebatas memelihara secara fisik, tetapi memelihara ingatan bersama.
Menjaga ingatan kolektif adalah sebuah proses pelestarian. Karena ingatan kolektif adalah memori bersama suatu kelompok masyarakat, yang membentuk identitas dan warisan budaya mereka, yang pelestariannya memerlukan upaya aktif dan berkelanjutan agar tidak hilang ditelan zaman.
Ingatan itu adalah proses alami yang ada pada diri individu atau kelompok (komunitas). Komunitas ini bisa secara internal dan eksternal karena sejarah dan warisan bangsa juga bersentuhan dengan pihak lain, misalnya adanya sejarah bersama dengan bangsa lain. Misalnya bangsa Belanda.
Banyak peninggalan berupa bangunan bangunan bersejarah baik yang terkait dengan sejarah kemerdekaan maupun sejarah peradaban, masih ada dalam ingatan masyarakat di kedua sisi negara: Indonesia dan Belanda.
Kita pun masih bisa belajar banyak akan apa yang diingat dan diketahui oleh masyarakat di pihak Belanda. Bukan tidak mungkin masyarakat Belanda sebagai wisatawan ingin berkunjung ke Indonesia dan mendatangi tempat tempat heritage yang mereka ketahui dan tidak kita (warga Indonesia) ketahui.
Kedatangan mereka ke tempat tempat heritage menjadi ajang diskusi dan berbagi untuk menambah wawasan sejarah. Tetapi terkadang kita sendiri, yang lebih sombong dengan apa yang kita miliki dan membuat mereka kesulitan melihat padahal dengan tujuan baik.
Para wisatawan ini datang dengan bekal pengetahuan tentang Object yang mereka ketahui. Tetapi dalam kunjungan itu mereka kadang kadang terganjal oleh prosedur birokrasi dan akan administrasi. Mereka diminta bersurat atau membawa surat. Bagaimana mungkin mereka bisa bersurat? Mereka sudah jauh jauh dari mancanegara diminta harus bersurat dan membuat surat yang prosedural.
Fakta ini masih terjadi di beberapa tempat disaat kita dituntut untuk melestarikan. Menjaga ingatan adalah proses pelestarian warisan. Ketika itu, meskipun on the spot, dari pihak perwakilan rombongan hendak menemui Kepala Instansi untuk menyampaikan maksud dan tujuan mereka berkunjung. Tetap saja dikatakan “tidak bisa”.
Padahal aset bangunan mereka sudah ditetapkan sebagai Cagar budaya dan menjadi wahana pendidikan edukasi publik sebagai dukungan terhadap daerahnya yang beridentitas sebagai Kota Heritage.

Pengalaman semacam ini pernah terjadi di Kota Lama Surabaya dan belum lama ini terjadi di Kota Pasuruan sebagai Pasuruan Heritage.
Sesungguhnya masyarakat itu mengerti atau tidak tentang julukan julukan yang menjadi identitas daerahnya? Mengapa kota Pasuruan memasang signage PASURUAN HERITAGE kalau hanya sekedar pajangan kota.

Heritage heritage Pasuruan dimiliki dan dikelola oleh berbagai instansi, pemerintah dan swasta. Namun siapapun seharusnya memberi kemudahan, khususnya kepada wisatawan yang akan menikmati heritage daerah setempat. Apalagi wisatawan ini pembawa ingatan kolektif yang perlu diketahui sebagai wahana edukasi.

Peristiwa memalukan ini terjadi di stasiun kereta api Pasuruan ketika rombongan Historische Nieuwsblad ingin berbagi cerita kepada rombongannya tentang Stasiun Kereta Api Pasuruan pada akhir abad 19. Dalam bernarasi memang membutuhkan lingkungan yang mendukung.
Pimpinan rombongan Historische Nieuwsblad ingin menyampaikan kepada Kepala Stasiun tentang niatnya. Tetapi dijawab petugas “tidak bisa”.
Lalu pihak pimpinan rombongan berdiskusi dengan pendamping rombongan untuk membeli tiket kereta jurusan ke Surabaya dengan tujuan bisa masuk ke peron dan bercerita tentang sejarah stasiun (tidak memfoto karena memang dilarang), juga tidak dilayani dan dibilang “tidak bisa”.

Loh mau beli tiket saja (membayar) tidak dilayani dan dibilang “tidak bisa”. Tujuannya hanya untuk mendapatkan nuansa stasiun kereta api (bukan memfoto) dan itu disadari.
Kalau tidak boleh memfoto di dalam stasiun, nyatanya banyak foto foto area dalam stasiun dari HP netizen.

Ringkasnya mau Izin untuk menyampaikan ke Kepala Stasiun (KS) tidak boleh. Mau beli tiket kereta juga tidak boleh.
Ketika pihak pemerintah Belanda saja sadar akan pentingnya warisan (heritage) Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk repatriasi, apakah masyarakat Indonesia sendiri sadar akan pentingnya makna repatriasi dan menjaga warisannya, melalui memelihara ingatan kolektif? (PAR/nng)