Kamis Mlipis: Kewajiban Menggunakan Bahasa Jawa Pada Hari Kamis

Aksara Bahasa

Rajapatni.com: SURABAYA – Pemerintah kota Surabaya melalui Peraturan Walikota (Perwali) Surabaya Nomor 17 Tahun 2025 mewajibkan penggunaan Bahasa Jawa di seluruh sekolah, mulai dari TK hingga SMP, setiap hari Kamis. Program ini dikenal sebagai “Kamis Mlipis” dan bertujuan untuk melestarikan budaya Jawa di kalangan generasi muda dalam komunikasi sehari hari

Program “Kamis Mlipis” tujuannya adalah memperkuat identitas budaya Jawa melalui penggunaan bahasa Jawa dalam kegiatan belajar mengajar dan pembiasaan komunikasi lisan sehari-hari di sekolah.

Selain itu, penggunaan Bahasa Jawa diharapkan dapat menjadi sarana untuk mengenali nilai-nilai estetika, etika, moral, dan spiritual yang terkandung dalam budaya Jawa, serta membantu dalam pembangunan karakter.

Meskipun diwajibkan, namun dalam penerapan berbahasa Jawa hendaknya disesuaikan dengan tingkatan bahasa dan situasi. Misalnya, dalam mendongeng, siswa diperbolehkan menggunakan cerita daerah dengan logat Surabaya (logat Arekan).

Selain kewajiban berbahasa (lisan), program ini seharusnya didukung dengan berbagai kegiatan seperti lomba-lomba berbahasa Jawa (cerpen, pidato, mendongeng, dll.), penyusunan modul ajar, dan pelatihan guru.

Pendongeng Kak Nitnit tentang kewajiban berbahasa Jawa bagi anak sekolah. Foto: ist

Menurut Pendongeng nasional asal Surabaya, yang akrab dipanggil Kak Nitnit, bahwa dirinya setuju karena kebijakan itu untuk melestarikan kearifan lokal.

“Tinggal mungkin materinya. Sebaiknya bahasa jawa Jawa Timuran, sesuai lokasi. Dan metode penyampaiannya juga harus fun. Bisa dijadikan game atau kegiatan yang menyenangkan”, jelas Kak Nitnit, yang saat dihubungi sedang mengikuti Jambore Relawan Bencana di Rawatrate,Malang Selatan.

Kak Nitnit dan suami, Oktastika, adalah pasangan yang tidak hanya membesarkan anak semata wayangnya tapi juga mendidik anaknya, Omar, dalam konsep Unschooling.

Unschooling adalah sebuah pendekatan pendidikan, khususnya dalam konteks homeschooling, yang menekankan pembelajaran berdasarkan minat dan keinginan anak, bukan berdasarkan kurikulum yang ditetapkan. Anak-anak didorong untuk mengeksplorasi dan belajar secara mandiri, dengan orang tua bertindak sebagai fasilitator yang menyediakan sumber daya dan dukungan.

Omar berdasarkan minat ingin belajar aksara Jawa dan orang tua menyelurkan ke wadah, yang membidangi kegiatan edukasi belajar aksara Jawa. Yaitu ikut kelas Sinau Aksara Jawa yang dikelola olah Puri Aksara Rajapatni.

Omar belajar Aksara Jawa atas minatnya. Foto: par

“Belajar aksara Jawa juga penting. Meskipun belum jadi kebutuhan. Namun setidaknya anak bisa mengenal aksara Jawa dan penggunaannya”, jelas Oktastika.

 

Pandangan Puri Aksara Rajapatni

Peraturan Walikota (Perwali) Surabaya Nomor 17 Tahun 2025 mengatur tentang mata pelajaran Bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib dalam kurikulum merdeka di jenjang pendidikan SD/MI dan SMP/MTs.

Menurut pembina komunitas aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni, A. Hermas Thony, kebijakan pemerintah kota Surabaya mewajibkan anak anak sekolah menggunakan bahasa Jawa di sekolah adalah langkah baik karena sesuai dengan upaya pemajuan kebudayaan sebagaimana tercantum pada UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam pasal 5 tentang 10 Object Pemajuan Kebudayaan termuat Bahasa sebagai salah satunya.

Ini adalah langkah dalam upaya pelestarian bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa.

“Bahasa Jawa tidak sekedar bahasa tetapi mengandung kesopanan dalam berinteraksi sosial budaya”, kata A. Hermas Thony, yang juga sebagai Inisiator Reperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya.

Bahasa Jawa mengatur dengan siapa seseorang berbicara. Jika berbicara dengan teman sebaya tingkat bahasa yang digunakan berbeda dengan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua dan orang tua.

Surabaya sendiri sebetulnya punya bahasa sendiri dengan gaya Arekan, yang tentu saja tidak bisa disamakan dengan bahasa Jawa standard Mataraman. Bahasa Arekan cenderung ke arah gaya Ngoko dalam Standard Mataraman, tapi bukan berarti bisa dianggap kasar dan tidak sopan.

Bahasa Arekan lebih egaliter dalam interaksi sosial budaya, yang terkadang dipandang seolah kurang mempedulikan tingkat kesopanan dalam penggunaan bahasa Jawa dalam berinteraksi sosial.

Egaliter adalah paham atau prinsip kesetaraan di mana semua orang dianggap memiliki derajat yang sama dan hak yang sama, tanpa memandang perbedaan status sosial, ekonomi, atau faktor lainnya. Dalam konteks sosial, egaliter berarti tidak ada hierarki yang kaku, dan semua orang memiliki kesempatan yang sama.

 

Bahasa dan Aksara Jawa

Lebih lanjut komunitas yang bergerak di bidang pemajuan aksara Jawa ini berharap agar praktik pembiasaan berbahasa Jawa (lisan) dibarengi dengan pembiasaan berbahasa Jawa (tulis) supaya seimbang dan maju bersamaan dan saling menguatkan pemajuan budaya jawanya.

Diketahui bahwa Bahasa dan Aksara adalah dua entitas yang berbeda. Masing masing memiliki aturan dan kaidah yang berbeda. Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri

Sedangkan Aksara adalah sistem simbol visual yang digunakan untuk merepresentasikan bahasa secara tertulis. Dengan kata lain Bahasa adalah lisan. Sementara Aksara adalah tulis.

Perlu dipahami bahwa Bahasa Jawa ini memiliki sistim simbol visual tersendiri. Yaitu berupa Aksara Carakan Hanacaraka. Bukan Latin Roman. Jadi ketika ingin melestarikan budaya literasi Jawa maka selain bahasa Jawa juga aksara Jawanya.

Seiring dengan upaya yang sudah sedang dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya dalam mengenalkan aksara Jawa melalui signage di kantor kantor di lingkungan pemerintah kota Surabaya, akan lebih relevan jika pembelajaran juga dilakukan di jalur pendidikan formal, khususnya mengiringi kebijakan kewajiban berbicara bahasa Jawa di sekolah. (PAR/nng).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *