Budaya Bahasa
Rajapatni.com: SURABAYA – Menjelajahi budaya melalui bahasa adalah cara yang ampuh untuk mendapatkan pengalaman belajar, yang lebih mendalam dan komprehensif. Proses ini membuka wawasan terhadap cara berpikir, nilai-nilai, dan sejarah suatu masyarakat.
Di kawasan kota lama Surabaya ada beragam budaya asing. Ada Eropa (Belanda), Tionghoa, Melayu dan Arab. Ada satu lagi yang kebanyakan orang lupa. Yaitu budaya lokal, yang terdiri dari budaya Jawa dan Madura, yang justru sudah berdiam di kawasan itu jauh sebelum bangsa asing datang dan berdiam di sana.
Prestise Sosial
Di zona Eropa (Belanda) pada khususnya, kita bisa konsentrasi mengenal pernah adanya budaya Belanda. Secara fisik dan kasat mata, kita bisa mengamati peninggalan gedung gedung yang berarsitektur kolonial (Belanda). Bahkan terdapat inskripsi atau tulisan tulisan yang berbahasa Belanda.

Dari peninggalan yang kasat mata itu, kita bisa mengenal budaya atau kebiasaan dalam tradisi pembangunan rumah, misalnya struktur bangunan, tata letak ruangan (tata ruang), dan bahan yang digunakan dalam pembangunan rumah dapat memberikan wawasan, yang mendalam tentang budaya dan kebiasaan masyarakat pada masa lampau.
Pengamatan terhadap peninggalan tersebut dapat mengungkapkan nilai budaya. Kecenderungan akan privasi, pentingnya kehidupan komunal, atau keyakinan spiritual sering kali tercermin dalam desain dan orientasi rumah seperti dalam keyakinan Tionghoa, ada hongsui.
Selain itu, juga ada tinjauan status sosial. Misalnya pada ukuran rumah, kualitas bahan bangunan, dan fitur arsitektural, yang rumit dapat mengindikasikan hierarki sosial atau kekayaan pemiliknya.

Misalnya pada rumah rumah besar di jalan Gelatik, yang dulu bernama Stadhuis Steeg, yang berarti Gang Balai Kota. Jalan Gelatik (Stadhuis Steeg) memang berada di belakang gedung Balai Kota Soerabaia (Stadhuis Van Soerabaia) di masa Hindia Belanda.

Diduga di jalan itu adalah komplek perumahan para pejabat Kota Surabaya. Secara status sosial, rumahnya besar, lapang dan berbeda dengan rumah rumah berarsitektur serupa di bagian buritan kota, yang ukurannya jauh lebih kecil.
Ukuran besar dan cenderung mewah itu mencerminkan status sosial tinggi penghuninya (pejabat, saudagar kaya era kolonial), mengikuti gaya arsitektur Eropa (Indische) yang megah, dan sebagai adaptasi iklim tropis (langit-langit tinggi, jendela lebar dan pintu besar), serta menunjukkan kekuatan dan prestise pemerintah kolonial Belanda yang menjadikan Surabaya pusat administrasi dan ekonomi penting. Rumah rumah besar itu dibuat demi kenyamanan penghuninya yang berstatus sosial lebih tinggi.
Tentunya disana menunjukkan adanya pengaruh Arsitektur Eropa (Indische), dimana gaya arsitektur Indische merupakan perpaduan Eropa klasik dan lokal. Ini menunjukkan simetri, tata letak hierarkis, dan kemegahan, seperti terlihat pada pilar besar, jendela raksasa, serta fasad yang megah.
Bahasa Mendukung Pemahaman Budaya
Bahasa akan membantu mendalami akan pernah adanya budaya dari masyarakat, yang pernah berdiam di sana. Bahasa membantu memahami Budaya. Data data yang bersifat historis umumnya didokumentasikan melalui bahasa dan tentunya bahasa penguasa. Yaitu Belanda.

Literatur tentang sejarah komunitas terabadikan lewat kemasan bahasa dalam bentuk buku dan bahkan prasasti yang tertempel pada bangunan bangunan kolonial di sana. Misalnya ada kebiasaan menempatkan sebuah prasasti yang isinya menginformasikan tahun pembuatan dan diresmikan oleh siapa. Kebiasaan ini tidak ada dalam tradisi lokal.
Penggunaan prasasti atau plakat untuk menandai pembangunan bangunan publik, monumen, atau infrastruktur oleh penguasa atau pejabat tinggi merupakan tradisi yang sudah berlangsung lama di Eropa.
Pemahaman akan bahasa Belanda, tentu akan membantu mengungkap makna dibalik pesan pesan inskripsi, yang banyak tersematkan pada bangunan bangunan dari era kolonial.
Inskripsi tidak sekedar dekorasi, tapi kandungan informasi tentang suatu peradaban. (PAR/nng).
