Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Bangsa Indonesia mendekati 80 tahun HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Bulan kemerdekaan pun tinggal menghitung hari. Pesan sang proklamator, Bung Karno, tak lupa dari ingatan bangsa “Jas Merah” (Jangan sekali sekali melupakan sejarah).
Namun satu sejarah penting bagi Surabaya, bagi bangsa, telah terlupakan. Negara di tingkat pemerintahan daerah telah gagal menyelamatkan Ingatan Kolektif Nasional (IKON), yang keberadaannya justru telah dilindungi oleh undang undang cagar budaya sesuai SK Walikota Surabaya No. 188.45/251/402.1.04/1996.

Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo di jalan Mawar 10 Surabaya tidak hanya dibongkar dan hilang, status cagar budaya sesuai SK Walikota Surabaya juga dihanguskan. Kini kedua data sejarah itu tak berbekas. Rumah tiada, placard Cagar Budaya sirna.

Sebuah IRONI besar bagi kota Pahlawan Surabaya, yang insan kekiniannya telah menghilangkan bukti FAKTA dan DATA sejarahnya.
Namun Ingatan Kolektif Nasional (IKON) itu tidaklah hilang dari memori publik.

“Bangunan telah hilang, penanda resmi Cagar Budaya telah sirna, tetapi situsnya masih disana, menjadi pijakan rumah mewah baru yang eksklusif. Ingatan Kolektif Nasional nya masih dalam benak anak anak bangsa. Buminya masih ada”, kata Thony, yang peristiwa pembongkaran itu telah mendorong dirinya masuk kembali ke rumah Dewan pada 2019 setelah kejadian pembongkaran Rumah Mawar 10 pada 2016.

Sejak 2016, lebih dari 5 tahun terakhir, rakyat Surabaya seolah terputus dari memori kolektif ini. Siapa yang tidak tau Bung Tomo. Siapa yang tidak kenal Mawar 10. Semua ingatan itu masih segar sebelum 2016. Tapi, kini ingatan kolektif itu sirna. Siapa yang masih peduli? Banyak yang telah lupa !
“Tapi saya tidak. Peristiwa itu mendasari saya masuk kembali ke rumah Dewan dan selanjutnya menginisiasi Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya sebagai upaya mengkonstruksi kembali ingatan publik, yang sangat penting bagi kota Surabaya, bagi bangsa Indonesia”, jelas Thony berapi api.

“Sayang sekali Ingatan Kolektif Nasional (bangsa) itu sudah tercabik dan tidak ada yang peduli, juga tidak ada yang berani bersuara lagi hingga keberadaannya tertelan masa dan terlupakan. Ingat pesan Bung Karno ‘Jas Merah’”, tegas Thony mengingat tekad membaranya masuk ke Dewan pada 2019.

Kini Thony sudah purna dari DPRD Kota Surabaya,tapi masih menyimpan semangat untuk menyelamatkan jejak sejarah bangsa dan terus bergiat dalam pelestarian nilai nilai Kejuangan para pendahulu, termasuk Bung Tomo.

“Sejarah itu milik bangsa, milik rakyat Surabaya. Nilai nilai sejarah itu masih layak untuk generasi berikutnya”, kata Thony, yang kembali berkoordinasi dengan anak Bung Tomo, Bambang Sulistomo di Jakarta.
Saat ini Thony sedang mengumpulkan arsip arsip pendukung untuk sebuah rekonstruksi ingatan kolektif atas Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo.
Dari sebuah foto yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa rumah di Jalan Mawar 10 memiliki konstruksi arsitektur atap berbentuk Dutch Gable, yang persis dengan atap di bangunan rumah Darmo 30.

“Lho ini lho bangunan atapnya seperti di rumah Darmo 30, yang dibongkar”, pungkas Thony. (PAar/nng)
