Hubungan Presiden Soekarno dan Muhammadiyah Hingga Ke Hubungan Darah.

Sejarah

Rajapatni.com: SURABAYA – Tentu dari kita semua sudah mengenal nama KH Ahmad Dahlan dan Soekarno yang memang sama-sama memiliki peran penting dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia, tetapi kontribusi dan medan perjuangan diantara keduanya berbeda.

KH Ahmad Dahlan (1868–1923) adalah ulama pembaharu yang mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Fokusnya pada pembaruan pendidikan Islam, pemurnian akidah, dan peningkatan kesejahteraan umat melalui amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Sedangkan Soekarno (1901–1970) adalah tokoh politik, orator, dan salah satu Proklamator Kemerdekaan yang memimpin Indonesia sebagai Presiden pertama. Ia menekankan pentingnya persatuan nasional, anti-kolonialisme, dan gotong royong. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh nasionalisme, marxisme, dan Islam.

 

Soekarno dan KH Ahmad Dalan jalan berbeda tujuan sama. Foto: ist

Meski jalur mereka berbeda, KH Ahmad Dahlan di jalur dakwah dan pendidikan dan Soekarno bergerak di panggung politik dan perjuangan kemerdekaan, keduanya sama-sama mendorong lahirnya masyarakat Indonesia yang merdeka, berilmu, dan bermartabat.

Kisah tabligh KH Ahmad Dahlan yang membawa Soekarno ke Muhammadiyah adalah bagian menarik dari sejarah hubungan dua tokoh besar ini, meski mereka berbeda generasi.

Soekarno memang tidak pernah menjadi murid langsung KH Ahmad Dahlan (karena saat KH Ahmad Dahlan wafat pada 1923, Soekarno masih berusia 22 tahun dan baru aktif di dunia pergerakan), tetapi pengaruh tabligh dan ajaran beliau sampai kepada Soekarno lewat jaringan Muhammadiyah.

Dalam buku baru “Sang Surya di Jawa Dwipa” yang dirilis oleh MPID PWM Jawa Timur bahwa Soekarno menyatakan tentang pemahamannya mengenai agama Islam itu masih remang-remang. Pendiri Muhammadiyah tersebutlah yang membantu memberikan pemahaman mengenai Gerakan Islam. Pada akhirnya, Islam menjadi bagian hidup Soekarno, utamanya setelah menyelesaikan sekolah menengah di Surabaya tahun 1921.

Ketika Soekarno muda tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya (1916–1921), ia bukan hanya belajar politik dan organisasi dari Tjokro, tetapi juga berinteraksi dengan berbagai tokoh pergerakan yang kerap datang berkunjung. Di antara tamu dan kolega Tjokro ada tokoh-tokoh Muhammadiyah, mengingat Tjokro sendiri memiliki hubungan akrab dengan KH Ahmad Dahlan. Meski Soekarno baru benar-benar berinteraksi langsung dengan Muhammadiyah saat di Bengkulu tahun 1938, benih-benih ketertarikan itu sudah mulai tumbuh sejak ia tinggal di rumah Tjokro. Dengan kata lain, tabligh KH Ahmad Dahlan memang tidak Soekarno dengar langsung, tapi pengaruhnya sampai melalui “perpanjangan tangan” Tjokroaminoto.

Pada saat di Bandung dan Bengkulu menjadi fase di mana hubungan antara Soekarno dengan Muhammadiyah berubah dari sekadar pengaruh ide menjadi pengalaman langsung. Di Bandung, Soekarno mengenal lebih dekat aktivis Muhammadiyah seperti Moh. Natsir dan tokoh-tokoh pergerakan Islam lainnya. Ia melihat bagaimana Muhammadiyah menjalankan pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial dengan rapi. Sedangkan Di Bengkulu (1938–1942), pengaruhnya makin kuat. Soekarno diasingkan ke sana oleh pemerintah kolonial Belanda, lalu mengajar di Hoogere Muhammadiyah School (HMS). Di sinilah ia berkenalan dengan Fatmawati, putri Haji Hassan Din—tokoh Muhammadiyah Bengkulu—yang kemudian menjadi istrinya.

Selama mengajar, Soekarno menyaksikan kedisiplinan administrasi, sistem kaderisasi, dan semangat pembaruan Muhammadiyah, yang semuanya merupakan kelanjutan dari visi tabligh KH Ahmad Dahlan sejak tahun 1912. Bahkan Soekarno pernah mengakui bahwa Muhammadiyah mengajarkannya tentang Islam yang membumi dan berpikir ke depan, bukan sekadar ritual saja. Pengalaman inilah yang kemudian memperkuat pandangannya bahwa Islam dapat menjadi kekuatan modernisasi bangsa tanpa kehilangan akarnya.

Meskipun KH Ahmad Dahlan wafat pada 1923, jauh sebelum Soekarno aktif terlibat di Muhammadiyah, hubungan ideologis di antara keduanya tetap terjalin melalui warisan gagasan. Bagi Soekarno, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi sebuah gerakan modernis yang membuktikan bahwa Islam dapat berjalan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pembaruan sosial. Itulah mengapa ia kerap menyebut Muhammadiyah sebagai “pembawa obor Islam yang rasional dan modern di Indonesia”.

Ungkapan ini bukan pujian kosong, melainkan pengakuan atas konsistensi Muhammadiyah dalam menjalankan misi yang dulu dirintis KH Ahmad Dahlan, yakni membumikan Islam melalui amal nyata, bukan sekadar wacana. Dengan demikian, walaupun Soekarno tidak pernah bertemu langsung dengan KH Ahmad Dahlan, api semangat tabligh sang pendiri Muhammadiyah tetap menyala dalam pandangan dan langkah politik Soekarno, terutama dalam memandang Islam sebagai kekuatan pembebas dan pencerah bangsa.

Bahkan dalam akhir hayatnya sebagaimana yang tertulis dalam buku ”Soekarno dan Muhammadiyah”, memiliki kecintaan yang tinggi atas Muhammadiyah. Cindy Adam dalam buku : Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, bahwa Soekarno merupakan satu-satunya Presiden sebuah negara di dunia yang menyatakan jika dirinya meninggal maka jenazahnya ditutupi dengan bendera Muhammadiyah, bukan dengan bendera negara. (PAR/nng/*)

*) Anang Dony Irawan, Penikmat Sejarah, Wakil Ketua PCM Sambikerep, Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya, Anggota APHTN-HAN dan MAHUTAMA

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *