Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Selama ini aksara dipandang sebagai bagian dari bahasa. Aksara dan bahasa sebenarnya adalah dua entitas yang berbeda. Aksara, dalam konteks ini, merujuk pada sistem tulisan, yang digunakan untuk merepresentasikan bahasa secara visual.

Jadi, aksara adalah alat untuk menulis dan melestarikan bahasa. Melalui aksara, kita bisa tahu bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Kutai pada abad ke-4 M, karena bahasa itu ditulis. Termasuk kita bisa tahu bahwa masyarakat Majapahit menggunakan bahasa Jawa Kuna karena bahasa itu ditulis baik dalam bentuk prasasti maupun Manuskrip.
Bahasa Dan Aksara Memiliki Kaidah Masing Masing
Bahasa dan aksara memiliki kaidah masing masing. Bahasa dan aksara adalah dua entitas yang berbeda, meskipun saling terkait. Bahasa adalah sistem komunikasi lisan, sementara aksara adalah sistem tulisan. Keduanya memiliki aturan dan kaidah tersendiri dalam penggunaannya.
Karenanya kongress Bahasa Jawa VII di Surakarta pada 2023 menegaskan adanya tiga unsur literasi Jawa: Bahasa, Sastra dan Aksara dalam satu kesatuan yang saling terkait.
Tiga unsur dalam satu kesatuan terkait ini adalah dalam hal upaya perlindungan dan pengembangannya melalui berbagai kegiatan. Ketiganya tidak bisa sendiri sendiri. Tiga unsur dalam satu kesatuan ini setelah aksara jawa masuk dalam keputusan Kongres Bahasa Jawa VII, yang diselenggarakan pada tahun 2023.
Karena dasar itulah, kemudian Aksara semakin kuat diusulkan sebagai Object Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang masuk dalam Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya.
Dengan demikian ada pemberian kepastian legal formal terhadap pengembangan dan pembinaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa lewat penetapan regulasi baik pada level nasional, provinsi, kabupaten/kota serta melakukan peninjauan kembali secara periodik, termasuk usulan dan penyediaan formasi ASN dengan kompetensi Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa.
Hal itu sebagaimana keputusan Kongress Bahasa Jawa VII di Surakarta pada 2023. Secara lokal, Surabaya pun sudah mulai mengimplementasikan penggunaan Aksara dan Bahasa Jawa. Penulisan aksara Jawa sudah terlihat pada nama nama perkantoran pemerintah di lingkungan kelurahan, kecamatan, OPD, Balai Kota dan DPRD Kota Surabaya.
Berikutnya menyusul adalah penggunaan bahasa Jawa di tingkat SD dan SMP se Surabaya dalam program Kamis Mlipis (penggunaan bahasa Jawa) setiap hari kamis.
Maka dengan adanya Aksara dan Bahasa sebagai entitas berbeda tapi saling mendukung dan terkait dengan Raperda, maka Raperda itu akan menjadi payung hukum dalam rangka pelindungan, pengembangan dan pembinaan dua Object bahasa dan Aksara Jawa.
Satu Object lainnya adalah Sastra. Sastra merupakan salah satu objek kebudayaan. Sastra, sebagai karya seni yang menggunakan bahasa, mencerminkan dan membentuk nilai-nilai, kepercayaan, serta pandangan dunia terhadap suatu masyarakat. Ia menjadi bagian integral dari kebudayaan, karena sastra tidak hanya sebuah karya tulis, tetapi juga cerminan dari realitas sosial dan budaya.
Karya tulis itu bisa dalam aksara Jawa atau aksara latin. Penyatuan tiga unsur literasi: Bahasa, Sastra dan Aksara ini akan mendorong pegiat budaya serta pegiat bahasa dan aksara Jawa serta penulis membuat karya karya tulis. Misalnya telah terbit buku cerita anak, yang ditulis dalam aksara Jawa seperti “Titi Tikus Ambeg Welas Asing”, karya Ita Surojoyo (2023).
Lainnya adalah Dyah Kurniawati asal Madiun, yang produktif dengan karya karya sastra dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Jawa.
“Penutup 2024. Dengan menulis, tak sengaja bisa membawa nama madrasah ke Tingkat Kanwil Kemenag Jatim. (padahal saya menulis adalah curhat hehe). Semoga berkah untuk semuanya”, tulisnya di akun Facebook nya.
Khusus Surabaya, semoga dengan payung hukum, geliat bahasa, sastra dan aksara Jawa semakin berkembang.
Kembali ke kongres, lantas hasil kongres bahasa Jawa VII tersebut menyoroti penyatuan tiga unsur literasi Jawa, yaitu bahasa, sastra, dan aksara, serta upaya perlindungan dan pengembangannya melalui berbagai kegiatan. (PAR/nng)