Sejarah dan Tradisi
Rajapatni.com: SURABAYA – Pernah ada istilah “Sambatan”. Di sebuah kampung di Surabaya, “Kampung Pengampon” namanya, pernah ada tradisi Sambatan. Di tahun 1970 ketika penulis masih SD sudah mengenal kata ini.
Sambatan adalah tradisi gotong royong, yang berasal dari kata “sambat” (bahasa Jawa) yang berarti meminta bantuan. Biasanya Sambatan itu ada ketika warga punya hajatan seperti membangun rumah. Karena ada tetangga yang “sambat”, maka para tetangga datang membantu orang yang “sambat” dengan suka rela dan sukacita atas kegiatan misalnya pembangunan rumah atau hajatan lainnya.
Sebagai imbalannya, tuan rumah biasanya menyediakan makanan dan minuman untuk para pekerja, yang sekaligus mempererat tali persaudaraan. Ini terjadi di kampung Pengampon di awal tahun 70-an, ketika itu penulis masih di bangku SD. Ketika itu, penulis ikut membantu membawakan pasir sesuai kemampuan, yang dalam benaknya agar dapat menikmati pisang goreng dan teh.
Sekarang tradisi Sambatan sudah jarang ditemui di kota karena telah digantikan oleh pemborong bangunan. Berbeda dengan di desa dimana tradisi ini masih bisa ditemui, misalnya di Ngawi ketika penulis sedang meliput kegiatan kegotong royongan di lingkungan desa pada tahun 2012-an. Sambatan masih ada. Entah sekarang. Desa dan Kota hampir sama.
Munggah Mala
Pun demikian dengan tradisi memasang kuda kuda ketika membangun sebuah rumah. Secara tradisional kegiatan ini dinamakan Munggah Mala. Saat sekarang tradisi Munggah Mala, (memasang bendera merah putih, tebu, dan padi pada kuda-kuda rumah saat membangun rumah) sudah jarang ditemui. Selain ubarampe itu, juga ada lagi satu. Yaitu menanamkan jarum/paku emas pada kuda kuda. Tahun 2009 ketika penulis membangun rumah, juga ikut memasang sendiri jarum emas itu pada kuda kuda.

Tradisi ini bukan hanya tentang struktur bangunan, tetapi juga mengandung nilai simbolis dan spiritual dengan menempatkan beberapa ubarampe seperti tebu dan padi yang berarti memohon keberkahan dan keselamatan.
Ubarampe sesungguhnya adalah sesaji atau perlengkapan yang digunakan dalam upacara adat, termasuk dalam tradisi Munggah Mala. Ubarampe ini bukanlah sesuatu yang musyrik, tetapi tradisi leluhur yang berjalan di adat dan tradisi Jawa.
Seiring dengan naiknya “Munggah Mala” di atas bangunan, di bawah biasanya dibarengi dengan selamatan, yang salah satu uba rampenya adalah bubur sengkala (atau bubur sengkalan).
Merah Putih
Bubur sengkolo adalah bubur Abang dan Putih (Merah Putih). Penggunaan warna merah putih ini terkait dengan simbolisme gula merah dan nasi putih, yang diyakini memiliki makna filosofis yang kuat dalam masyarakat Nusantara sejak lama.
Warna merah melambangkan keberanian, semangat juang, dan kekuatan. Sementara warna putih melambangkan kesucian, kejujuran, dan kemurnian niat.
Berani karena benar dan suci. Itulah Merah Putih. Warna merah putih ini secara turun temurun awalnya digunakan dalam Panji panji Majapahit termasuk di armada lautnya kemudian turun ke Kapal kapal Republik Indonesia. Panji-panji Majapahit ini memang dikenal berwarna strip merah putih karena warna tersebut menjadi simbol kebesaran, keberanian (merah), dan kesucian (putih).
Majapahit, yang juga berkuasa atas wilayah lautan, panji panjinya turun dalam tradisi KRI (Kapal Republik Indonesia).
Penggunaan warna merah putih ini terkait dengan simbolisme gula merah dan nasi putih, serta diyakini memiliki makna filosofis yang kuat dalam masyarakat Nusantara.

Dalam tradisi KRI, bendera ini bercorak lima garis merah dan empat garis putih horizontal yang sama lebar.
Dikutip dari buku “Tradisi TNI Angkatan Laut”, bendera ini dikenal dengan bendera kerajaan Majapahit atau Sang Saka Getih-Getah Samudra atau Sang Saka Gula Kelapa.

Getih Getah dalam sajian uba rampe diwujudkan dalam bubur sengkolo (bubur Abang dan bubur putih). Getih adalah Abang dan getah adalah putih.
Sosialisasi Bendera Merah Putih
Dulu, dulu sekali ketika era teknologi belum musim, melalui pendirian Munggah Mala pada konstruksi bangunan tertinggi ditandai dengan ubarampe yang di dalamnya termasuk bendera merah putih selain ada bubur Abang dan putih. Pemasangan bendera ini sebagai bentuk sosialisasi penggunaan bendera kebangsaan pada pasca kemerdekaan. Bendera menjadi kelengkapan ubarampe Munggah Mala.
“Pemasangan bendera pada kuda kuda bangunan itu menunjukkan semangat nasionalisme dan persatuan, serta rasa syukur atas kemerdekaan”, demikian kata A Hermas Thony, pengusul Raperda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya.
Sehingga ada hubungan antara warna Merah-Putih, tradisi, Kerajaan Majapahit dan bangsa Indonesia. Warna bendera kebangsaan itu sebagaimana tertuang dalam Undang Undang no 24/ 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. (PAR/nng)