Gapura Ampel: “Kĕrtining paṇḍita winayang ing ratu”, Memanggil.

Aksara:

Rajapatni.com: SURABAYA – Gapura Munggah di komplek wisata religi Sunan Ampel memanggil. Gapura, yang berdiri di tengah keramaian peziarah itu terabaikan dan pesan pentingnya seolah sirna. Gapura ini sudah dilewati jutaan peziarah. Pesan penting itu adalah sengkalan lamba dan relief bersimbol rempah rempah.

Gapura Munggah berada di posisi paling selatan dan langsung menghadap jalan Sasak. Foto: dok par

Melalui sengkalan lamba, kita mengetahui penanda tahun. Sengkalan lamba adalah salah satu jenis sengkalan dalam budaya Jawa, yang berupa rangkaian kata-kata yang memiliki makna angka tahun.

Sengkalan lamba pada blandar Gapura Munggah. Foto: doc par

Adapun sengkalan lamba pada inskripsi yang bertulis dalam aksara Jawa dan berbunyi “Kĕrtining paṇḍita winayang ing ratu, angkaning warsa”, yang artinya “perilaku pendeta dibayang-bayangi oleh raja”. Pembacaan itu dilakukan oleh filolog Abimardha Kurniawan, dosen FIB Unair.

Dengan begitu, disana ditemukan sebuah kronogram bhūtasaṃkhyā, yang kalau diuraikan menjadi “kĕrt”i (4) “paṇḍita” (7) “winayang” (6) dan “ratu” (1). Jadi sengkalan itu berangka 4761, sehingga kalau dibaca dari belakang menjadi 1674 dalam tarikh Jawa atau antara 2 Desember 1748 – 10 Desember 1749), yang sezaman dengan masa akhir pemerintahan Pakubuwana II di Surakarta (1745—1749).

Gapura kuno ini mengandung inskripsi dan gambar Rempah rempah. Foto: doc par

Selain mengandung sengkalan lamba, Gapura ini juga menjadi bingkai simbol rempah rempah yang menjadi kekayaan Nusantara. Surabaya memang bukan bumi penghasil rempah rempah, tetapi Surabaya menjadi Jalur Rempah karena posisinya sebagai bandar pelabuhan dan menjadi gerbang ke pedalaman Jawa, Majapahit.

Gapura Munggah di era kolonial. Foto: Ampel heritage

Karenanya moyang Surabaya menyematkan (membingkai) rempah rempah pada gapura di kompleks Sunan Ampel. Relief rempah rempah itu menjadi legitimasi produk perkebunan Nusantara yang melalui Surabaya.

Pesan penting itu seolah terabaikan yang lambat laun gapuranya sendiri juga ikut terabaikan yang cepat atau lambat akan sirna akibat dibongkar karena keberadaannya tidak dilindungi oleh penetapan bangunan cagar budaya yang ditandai dengan placard Cagar Budaya.

Meskipun keberadaannya di kawasan cagar budaya, proses pembangunan akan dapat mengalahkannya. Berkaca dari kasus rumah Darmo 30 yang berada di situs Cagar Budaya Perumahan Darmo dan komplek Rumah Sakit Kelamin Indrapura Surabaya yang tidak memiliki tempelan placard Cagar Budaya, akhirnya bangunan lama itu bisa hilang. Alasannya bangunan itu tidak ada placard cagar budaya.

Pun demikian nantinya dengan Gapura Munggah di Komplek wisata religi Ampel, yang diduga bisa dan Syah dibongkar dengan alasan tidak ada placard Bangunan Cagar Budaya (BCB).

 

Hotel Bumi berdiri di bekas tanah gundukan di kampung Karang Bulak. Foto: ist

Seorang pemerhati sejarah klasik Surabaya, Tri Priyo Wijoyo, menceritakan pengalaman dan pengetahuannya setelah menghadiri acara temu budaya dengan warga, yang tinggal di kampung di belakang Hotel Hyatt (hotel Bumi), seminggu yang lalu. Diceritakan oleh warga, yang sudah berusia lanjut, bahwa di lokasi hotel pernah ada sebuah gumuk (tanah gundukan) dan tumbuh pohon beringin. Kampung itu dulunya disebut Karang Bulak, sekarang nama kampung telah sirna, yang secara administratif sekarang ikut kampung Kedondong.

Ketika tanah gundukan itu dibongkar untuk pembangunan hotel, ditemukan serpihan batu bata kuno dan bebatuan andesit seperti struktur bangunan kuno. Karena alasan pembangunan itulah, jejak peradaban Hindu Budha itu hilang.

Belajar dari fakta dan peristiwa itu semua, maka Gapura Munggah di komplek Ampel perlu mendapat perhatian agar tidak mengalami peristiwa serupa seperti rumah Darmo 30 dan gugusan bangunan di komplek Rumah Sakit Kelamin Indrapura. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *