Rajapatni.com: Surabaya (3/1/5) – INDONESIA adalah negara yang menjadi potret ꦏꦼꦧꦼꦫꦒꦩꦤ꧀ keberagaman. Berbeda dalam wujud suku, agama, warna kulit, bahasa dan aksara (simbol bahasa). Menurut Kepala Balai Bahasa Jawa Timur Umi Kulsum bahwa di Indonesia ada lebih dari 700 bahasa daerah dengan 12 aksara, sebagai simbol bahasanya.
Ke-12 ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦭꦺꦴꦏꦭ꧀ aksara lokal tersebut adalah aksara Nusantara yang terdiri dari Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci (Rencong atau Incung).
Dari 12 Aksara Daerah dan 700 bahasa daerah berarti banyak aksara yang hilang dan mati. Karenanya Undang Undang 5/2017 mengamanatkan adanya upaya perlindungan dan pelestarian nya. Bahkan PBB melalui UNESCO melakukan perlindungan atas aksara aksara melalui adanya peringatan ꦲꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦆꦤ꧀ꦠꦼꦂꦤꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ Hari Aksara Internasional. Indonésia turut memperingatinya. Kota Surabaya pada peringatan Hari Aksara Sedunia pada 8 September 2023 memperingatinya dengan mengumpulkan aksara aksara Nusantara dari masing masing daerah yang masih memiliki aksara daerahnya.
Tidak cukup aksara daerah, peringatan yang digelar olèh komunitas aksara Jawa di Surabaya, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, juga mengajak perwakilan negara sahabat yang berkantor di Surabaya untuk berpartisipasi dalam peringatan Hari Aksara Internasional itu. Ikut berpartisipasi kala itu (2023) adalah Kantor Konjen Jepang, Perwakilan negara India, Perwakilan Taiwan, Thailand dan partisipan Arab. Wujud nyambut adalah pameran Aksara dengan tema “Surabaya Merangkai Aksara Dunia”.
Diketahui beberapa tahun terakhir ini bahwa Indonésia ketambahan satu aksara baru. Bukan aksara daerah. Tapi ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦏꦺꦴꦫꦺꦪ Aksara Korea, Hangeul, yang telah dipakai sebagai aksara daerah dan bahkan pernah diusulkan sebagai aksara resmi daerah. Daerah itu adalah pulau kecil di jantung negara Indonésia. Daerah itu adalah Cia Cia di Bau Bau, Buton, Sulawesi Tenggara. Masyarakatnya menggunakan aksara Korea atau aksara Hangul untuk menuliskan bahasa Cia-Cia. Kok bisa? Bisa saja dan nyata adanya.
Pada tahun 2009, bahasa Cia-Cia sempat menarik perhatian dunia karena Kota Bau-Bau memutuskan agar tulisan Hangul dari Korea digunakan untuk menulis bahasa Cia-Cia, dan mengajar anak-anaknya sistem tulisan baru ini.
Ini berarti di Indonesia ada pertambangan satu bahasa daerah dan aksaranya. ꦲꦔꦸꦭ꧀ Hangul adalah Bahasa dan Aksara Asing (Korea) yang menjadi aksara lokal. Gak bahaya ta? (Apakah tidak berbahaya).
Inilah jika terjadi kekosongan, maka yang bersifat asing ini bisa mengisi celah itu. ꦆꦫꦺꦴꦤꦶꦱ꧀ Ironis. Aksara lokal semakin ditinggalkan, aksara Asing hadir dan dimulyakan. Jika sekarang kita dihadapkan pada masuknya aksara asing Hangul, sejarah mencatat bahwa sebelumnya pernah masuk aksara Latin, yang sekarang merengkuh aksara Nusantara. Sekarang kita menggunakan Aksara Latin secara nasional. Mana aksara Nusantaranya?
Bukan tidak mungkin karena kekosongan atau kurangnya ꦥꦼꦂꦲꦠꦶꦪꦤ꧀ perhatian pada aksara daerah, niscaya akan bertambah hadir aksara asing di Nusantara dan perlahan tapi pasti akan menjadi populer di negeri ini, termasuk di Surabaya.
Bukan tidak boleh yang namanya Aksara Asing masuk ke ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Nusantara, termasuk ke Surabaya, tapi hadirnya mereka perlu diimbangi dengan meningkatnya penggunaan Aksara daerah di rumah sendiri. Ini akan serasi dan satu sama lain bisa saling belajar yang tidak hanya belajar bahasa dan aksaranya, tapi juga budayanya.
Maklum, pada era sekarang, era globalisasi setiap negara tidak bisa menutup diri dari percaturan internasional. Justru antar bangsa harus berkolaborasi dan aksara bisa menjadi unsur kolaborasi, bersinergi dan bahkan berrekonsiliasi sebagai wujud diplomasi budaya antar negara.
Komunitas pegiat dan aktivis aksara Jawa di Surabaya, ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, dalam salah satu kegiatannya merekatkan antar aksara. Yang sedang berlangsung adalah kolaborasi aksara Jawa dan Aksara Jepang, dua bangsa yang memiliki aksara.
Jika sekarang aksara Korea (Hangul) telah dipakai di Cia Cia, Bau Bau, ꦱꦸꦭꦮꦺꦱꦶꦠꦼꦁꦒꦫ Sulawesi Tenggara, berikutnya akan hadir aksara aksara lain menjadi umum di suatu daerah di Indonesia. Sementara bangsa Indonésia semakin lupa aksara daerahnya. Gak bahaya ta? (Apakah tidak berbahaya?)
Dirjen Kebudayaan Républik Indonésia, Hilmar Farid, dalam catatan tertulis yang dibacakan pada pendirian komunitas ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni pada 22 Desember 2023 mengapresiasi komunitas budaya ini atas kepeduliannya melestarikan Aksara Jawa.
“Sebuah langkah yang tidak saja patut dipuji, tapi juga patut diikuti oleh masyarakat di tempat lain, yang masih mengenal aksara lokalnya masing-masing. Hormat saya kepada para ꦥꦼꦩꦿꦏꦂꦱ pemrakarsa lahirnya Rajapatni, semoga seluruh kegiatan bisa berjalan dengan baik dan lancar. Salam budaya.” begitu sebagian kutipan catatan Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid pada pendirian Puri Aksara Rajapatni. (nanang PAR).*