Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Dalam peringatan Hari Kemerdekaan RI, sering kita dihadapkan pada satu pertanyaan. Apa yang harus diteladani dari para pahlawan?
Ada sebagian menjawab Sifat dan sikapnya. Sifat dan Sikap sebenarnya dua hal yang berbeda, meskipun seringkali tertukar. Sifat adalah karakter bawaan lahir, cenderung stabil, dan sulit diubah. Sementara sikap adalah cara seseorang merespons atau bereaksi terhadap sesuatu, yang bisa berubah seiring waktu dan pengalaman.
Diluar dari keduanya banyak yang menunjukkan bahwa perilaku adalah yang patut ditiru dan diteladani. Perilaku adalah contoh nyata dan konkrit. Tidak abstrak dan memunculkan interpretasi macam macam.
Misalnya kita ingin meneladani sifatnya yang baik. Baik itu seperti apa? Contohnya bagaimana? Sifat itu akan nyata bila ditunjukan dalam perilaku. Misalnya suka menolong dan melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan.

“Suka menolong” dan “beribadah” adalah sifat baik. “Baik” bagi pencuri jika mendapatkan hasil curian yang banyak.
Ini yang namanya multi tafsir. Dalam Peraturan Daerah (Perda) tidak boleh ada multitafsir karena dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, potensi konflik, kerugian bagi masyarakat, dan erosi kepercayaan terhadap sistem hukum. Ketidakjelasan tafsir norma hukum dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk keuntungan pribadi dan merugikan masyarakat.
Ketidakjelasan dalam aturan, dan apalagi telah dirancang oleh pihak pihak, tentu akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk keuntungan pribadi dan golongan yang akhirnya merugikan masyarakat.
Karenanya Peraturan Daerah (Perda) harus lugas dan jelas agar mudah dipahami dan ditaati oleh masyarakat, bahkan oleh pelaksana aturan, serta untuk menghindari multitafsir dan kesalahpahaman. Kejelasan dalam Perda juga memastikan adanya kepastian hukum dan ketertiban dalam pelaksanaan kebijakan di daerah.

Dalam Raperda yang sedang digodok oleh Pansus di Komisi D bahwa Kata Kejuangan dimasukkan (disembunyikan) dalam Kepahlawanan. Padahal “Kejuangan” dan “Kepahlawanan” berbeda. Perbedaan antara “kejuangan” dan “kepahlawanan” terletak pada fokus dan cakupannya. Kejuangan lebih mengarah pada proses perjuangan. Sedangkan kepahlawanan merujuk pada hasil dari perjuangan tersebut atau individu yang berjasa, yang kemudian disebut pahlawan.
Padahal kita harus meneladani pahlawan. Yaitu perilaku, akhlaknya yang patut ditiru dan digugu.
“Ditiru dan digugu” adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa yang merujuk pada seorang seorang tokoh dan panutan. Secara harfiah, “digugu” berarti dipercaya, didengarkan, dan diikuti perkataannya. Sedangkan “ditiru” berarti diteladani, dicontoh, atau diikuti perilakunya.
Lagi lagi adalah diksi “perilaku” yang lebih jelas daripada “sifat” yang bisa diteladani. Perilaku memberikan panutan jelas yang tidak multi tafsir. Pun demikian dalam pembuatan perda. Semuanya harus jelas dan lugas mulai dari judul hingga isi.

Judul adalah wajah dari isi. Judul sebuah karya (buku, artikel, tulisan, dan Perda.) yang baik harus mencerminkan dengan jelas dan ringkas isi dari karya titu. Judul yang baik akan memberikan gambaran awal kepada pembaca mengenai topik yang akan dibahas, serta membangkitkan ketertarikan untuk membaca lebih lanjut untuk dipraktekkan.
Peraturan Daerah (Perda) harus mampu mengatur dan membimbing praktik-praktik masyarakat dalam proses pembangunan di suatu daerah. Perda memang berfungsi sebagai instrumen hukum, yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam konteks pembangunan.

Bagaikan meneladani seorang Rasul, yang patut ditiru dan diikuti adalah akhlaknya (perilakunya) dan perjuangannya. (PAR/nng)