Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Di balik gemerlap dan riuhnya Jalan Tunjungan, terselip masjid Dakwah Muhammadiyah di gang sempit Blauran Kidul Gang 2 Nomor 21. Masjid ini tak kelihatan dari jalan Embong Malang di Barat. Apalagi jalan Tunjungan di Timur. Keberadaan nya di gang sempit dan terkurung bangunan megah Empire Palace.
Dari, catatan pwmu.co, masjid Da’wah ini didirikan pada tahun 1960 dan berdiri di atas lahan seluas 284 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 568 meter persegi, masjid ini mampu menampung sekitar 400 jemaah.
Sementara di kampung Genteng Muhammadiyah, yang berlokasi di Timur jalan Tunjungan, terdapat kampung yang bernama Genteng Muhammadiyah. Nama jalan ini ditandai dengan dua sekolahan: yakni SMP Muhammadiyah 2 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 10 Surabaya.
Kedua sekolah ini menjadi simbol simbol keberlanjutan nilai-nilai pendidikan, yang berkemajuan yang diwariskan para pendiri Muhammadiyah. Estafet nilai nilai tidak cukup dengan pelajaran formal di sekolah, tetapi perlu adanya pelajaran luar sekolah melalui jelajah sejarah.
Di kawasan ini Genteng, Tunjungan dan Blauran adalah bekas palagan perjuangan dan peradaban dalam menegakkan kedaulatan dan Islam. Dari daerah padat penduduk ini menjadi tempat tinggal para saudagar, guru, dan aktivis pergerakan Islam. Dari sinilah semangat pencerahan Muhammadiyah menyebar ke seluruh penjuru kota.

Guna membuka tabir sejarah, sekelompok pegiat sejarah Muhammadiyah menapaki kawasan ini. Para pegiat sejarah Muhammadiyah itu adalah Agus Wahyudi, Azrohal Hasan, Wildan Nanda Rahmatullah, Ni’matul Faizah, Zahrah Putri Pratiwi, Tanwirul Huda, dan Ahmad Jabir. Mereka sekaligus cendekiawan muda yang mulai aktif bersama dalam mendokumentasikan jejak sejarah Muhammadiyah melalui tulisan tulisan di laman www.pwmu.co dan penerbitan buku.
Dalam persiapan menyambut dan mengisi Milad Muhammadiyah yang jatuh pada tanggal 18 November 2025, para pegiat sejarah dan cendekiawan muda Muhammadiyah ini merancang jelajah sejarah Muhammadiyah di kawasan Genteng, Tunjungan dan Blauran. Organisasi Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912. Tahun ini adalah Milad ke 113 tahun.
Rute Jelajah
Rancangan jelajah sejarah ini dimulai dari titik keberangkatan Genteng Muhammadiyah di lingkungan SMP Muhammadiyah 2 dan SMA Muhammadiyah 10 Surabaya. Dari Genteng Muhammadiyah ini, mereka berjalan menyusuri kampung menuju pemberhentian pertama di Siola yang ditandai dengan patung perjuangan dan artefak dua pucuk meriam.

Dari Gedung Siola menyeberang jalan Tunjungan memasuki jalan Tanjung Anom dan Kampung Blauran menuju ke Masjid Dakwah di Blauran Kidul Gang 2 Nomor 21. Di tempat ini ada pemandangan kontras secara arsitektural dimana bangunan masjid yang lawas dan kecil terkurung bangunan hotel yang modern dan megah. Ini menjadi simbol betapa jejak peradaban Islam tidak boleh kalah dan mengalah karena modernisasi dan kemajuan zaman. Ini adalah nilai nyata dalam kehidupan.
Di sekeliling masjid, masih berdiri dinding-dinding rumah warga dan tentu saja bangunan hotel yang megah. Menara Masjid masih menjulang gagah, pertanda zaman.
Dari gang sempit Blauran, langkah pegiat sejarah Muhammadiyah terus menyusuri kampung Ketandan hingga sampailah di sebuah pendopo Markeso. Keberadaan Pendapa yang tradisional ini memang kontras dengan perwajahan jalan Tunjungan yang pernah menjadi kawasan elit Eropa dan kawasan elit anak muda sekarang. Gemerlap lampu dan gaya hidup mewarnai Jalan Tunjungan.
Di jalan inilah para pegiat sejarah mampir menyaksikan bangunan abad 19 yang masih berdiri kokoh. Yaitu bangunan gaya Indis yang pernah dipakai Perkumpulan Freemason Surabaya.
Perkumpulan Freemason di Surabaya pertama kali didirikan pada tahun 1809 dengan didirikannya rumah loge pertama di Jalan Tunjungan, yang dikenal sebagai Loji De Vriendschap atau Loji Tunjungan. Pendiriannya diprakarsai oleh Jacobus Albertus Van Middle Cup, yang menjadi residen di Jawa Timur pada masa itu.
Dari Loji De Vriendschap, perjalanan berlanjut ke bangunan gaya art deco Hotel Majapahit yang dibangun pada 1910 dan dimodernisasi pada 1930-an ketika perluasan lobi dan penambahan bangunan. Dari dua bangunan kuno ini dapat diketahui perkembangan arsitektur Surabaya dari Indisch ke art deco.
Dari jalan Tunjungan kemudian bergerak menuju jalan Genteng Besar sambil memperhatikan gedung gedung yang menghiasi jalan Tunjungan. Stop terakhir adalah Genteng Muhammadiyah.
Perjalanan ini ditempuh dalam jarak 3,5 kilometer yang dimulai dari PK 15.30 hingga 17.30. (PAR/nng)
