Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – “Tidak ada rotan, akar pun jadi”, demikianlah peribahasa, yang bermakna dalam keadaan terpaksa. Belum bisa menggunakan siaran Radio Surabaya (RRI Surabaya), rakitan radio pemancar pun dipakai demi bisa bersuara menyampaikan pesan pesan pidato, yang sebetulnya orasi audio untuk menyemangati para pejuang Surabaya dalam melawan Sekutu di seputar perang November 1945.
Bung Tomo tidak tau banyak mengenai teknis radio, namun radio menjadi alat perjuangannya. Apalagi Bung Tomo tidak memiliki keahlian teknis khusus dalam merakit radio pemancar. Kemampuan teknis untuk merakit Radio Pemberontakan, yang digunakan Bung Tomo dibantu oleh temannya, Hasan Basri, yang memiliki keahlian di bidang teknik.
Namun dari otak Atik radio pemancar, yang diperkuat dengan bekas pemancar buatan Jepang, Bung Tomo bisa memiliki perangkat radio pemancar portable yang selanjutnya dikenal dengan Radio Pemberontakan.
Sebagian komponen penguat radio pemancar ini dari pemberian Menteri Pertahanan, drg. Moestopo. Di rumah di Jalan Mawar 10 Surabaya Radio Pemancar itu mengudara.
Dengan menggunakan pemancar radio, yang dikenal sebagai “Radio Pemberontakan” ini, ia menyiarkan pidato-pidato yang membangkitkan semangat rakyat Surabaya dalam melawan Sekutu, terutama saat pertempuran 10 November 1945.
Bung Tomo juga menggunakan radio pemancar ini untuk menyebarkan pesan-pesan perlawanan dan menggalang dukungan internasional. Kecerdasan di bidang jurnalistik dimanfaatkan untuk mendapatkan pengaruh internasional bahwa Indonesia ada dan terus bertahan untuk ada di tengah tengah tekanan pihak asing yang akan kembali menduduki dan merampas hak merdeka sebagai bangsa.
K’tut Tantri
K’tut Tantri, seorang perempuan Amerika-Skotlandia, kawan Bung Tomo, berperan penting dalam menyebarkan pesan perjuangan kemerdekaan Indonesia, terutama melalui Radio Pemberontakan di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Ia menggunakan bahasa Inggris untuk menyiarkan berita dan perkembangan pertempuran kepada dunia, serta menerjemahkan pidato Bung Tomo, sehingga pesan tersebut dapat dipahami oleh pendengar internasional.

Karena perannya yang menonjol dalam siaran radio dan penentangannya terhadap Inggris, ia dijuluki “Surabaya Sue” oleh pasukan Sekutu, terinspirasi dari julukan “Tokyo Rose” untuk penyiar radio propaganda Jepang.
Dengan perannya sebagai penyiar dan penerjemah, K’tut Tantri membantu menyebarkan semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia dan membuktikan bahwa perjuangan bangsa Indonesia mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, termasuk warga asing yang bersimpati.
Menurut literasi Wikipedia bahwa K’tut Tantri, yang bernama asli Muriel Stuart Walker (19 Februari 1898 – 27 Juli 1997), adalah seorang wanita Amerika Skotlandia, yang paling dikenal karena karyanya sebagai penyiar radio di Republik Indonesia, termasuk radio Voice of Free Indonesia, pada saat Revolusi Nasional Indonesia.
Muriel Stuart Walker lahir di Glasgow di Britania Raya dan berimigrasi bersama dengan ibunya ke California setelah Perang Dunia Pertama. Ia bekerja sebagai penulis naskah di Hollywood. Antara 1930 dan 1932, ia menikah dengan seorang pria Amerika yang bernama Karl Jenning Pearson, yang wafat pada 1957.
Pada 1932, ia meninggalkan Amerika Serikat untuk memulai hidup baru di sebuah pulau di Indonesia yang bernama Bali, dimana ia menjalani lima belas tahun berikutnya. Kecintaannya dengan Bali membuahkan sebuah buku yang bernama “Revolusi di Nusa Damai”. Buku ini menggambarkan berkecamuknya sebuah negeri yang damai.

Alasan mengapa K’tut Tantri pergi dan menetap di Bali karena setelah ia menyaksikan sebuah film berjudul, “Bali: The Last Paradise” di Hollywood California, seketika itu keindahan surga Bali ingin membawanya ke sana.
Sekeluarnya dari bioskop, perempuan itu seperti menemukan hidup. Hanya beberapa menit seusai film itu kelar ditonton, ia sudah punya keputusan bulat: pergi dan menetap di Bali.
Itulah mengapa perempuan yang bernama asli Muriel Stuart Walker berganti nama menjadi K’tut Tantri, nama khas perempuan Bali. Latar belakang jurnalistiknya membawanya menggoreskan tinta hingga menjadi sebuah buku “Revolusi di Nusa Damai”.
K’tut Tantri bertemu Bung Tomo di Radio Pemberontakan (Radio Rimba Raya) di Surabaya, di mana ia bekerja sebagai penyiar radio berbahasa Inggris selama Revolusi Nasional Indonesia.
Di tempat itu K’tut Tantri tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga mendampingi Bung Tomo dalam menyampaikan orasi orasinya, membantu menyebarluaskan semangat perjuangan.
Mereka bekerja sama dalam menyebarkan pesan-pesan kemerdekaan melalui radio, dengan K’tut Tantri berperan penting dalam memperluas jangkauan informasi tersebut.
Pulau (Nusa) Bali menyulap Muriel Stuart Walker menjadi K’tut Tantri dan berjuang melalui alat jurnalistiknya untuk Nusa Damai.