Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Masjid di jalan Indrapura Surabaya terkenal dengan nama Masjid Kemayoran. Sesungguhnya masjid ini bernama Masjid Raudhatul Musyawarah. Karena berdiri di lingkungan Kemayoran, maka disebutlah Masjid Kemayoran.

Menurut Pengurus Masjid Gus Yani, yang ditemui pada Selasa malam (5/8/25) bahwa nama Raudhatul Musyawarah ini sebagaimana terukir dalam aksara Arab pada gerbang lama masjid yang menghadap ke Timur, yang sekarang berada di dalam masjid. Sementara gerbang baru masjid yang berada di luar menghadap ke Selatan ke arah jalan Indrapura.


Gerbang lama masjid dengan tulisan Raudlatul Musyawarah ini dilengkapi dengan angka tahun pembangunan sebagai bentuk perluasan masjid. Yaitu 1935. Sebagaimana diberitakan oleh koran Soerabaiasche Handelsblad bahwa pembangunan perluasan ini adalah setelah 86 tahun pembangunan masjid induk. Yaitu pada 1848, sebagaimana tertulis pada prasasti tembaga beraksara Jawa dengan angka tahun 1772 Jawa. Tahun 1772 Saka ditambah 86 adalah 1848 M.

Prasasti beraksara Jawa ini memiliki ukuran bingkai hampir 2 meter dan lebar sekitar 80 cm. Di dalam bingkai terdapat tulisan beraksara Jawa yang terbuat dari tembaga yang klem pada lembar tembaga.
Bunyi dari prasasti ini adalah mengenai pemberian pemerintah Hindia Belanda kepada segenap umat Islam di Surapringga (Surabaya). Masjid ini didirikan atas nama pemerintah mulai dari pemerintah pusat Hindia Belanda, pemerintah karesidenan Surabaya hingga pemerintah Kabupaten Surabaya. Kala itu Surabaya masih bernama Surapringga. Dalam prasasti ini nama Surapringga disebut dua kali: Karesidenan Surapringga dan Nagari Surapringga.
Prasasti ini nyata nyata sebagai bukti resmi pemberian pemerintah Hindia Belanda sebagaimana tersebut dalam prasasti kepada bangsa (umat) Islam. Pemberian ini adalah pemberian dengan sungguh sungguh (tulus dan ikhlas) kepada umat Islam Surapringga.

Dalam prasasti dituliskan “punika sih peparingipun Kanjĕng Gubernemen Londo dumateng sarupining bangsa Islam”. Ada penekanan pada kata “peparingipun” dengan kata “sih”, “Punika sih peparingipun…”
Ditemunya Prasasti
Menurut sejarawan Kawatan, NU, Gus Udin bahwa prasasti ini ditemukan di gudang pada saat renovasi kesekian kalinya di kemudian hari.
“Prasasti itu ditemukan di dalam gudang diantara tumpukan barang barang lainnya. Luk, beraksara Jawa”, cerita Udin dalam jagong budaya di kedai di kampung tua Kawatan pada Selasa sore (5/8/25).

Diduga prasasti dari tembaga ini tertempel pada bagian dari gedung utama yang dibangun pada 1848, karena renovasi perluasan pada 1935, maka prasasti ini tercabut dari tempatnya dan belum sempat dipasang pada bagian dari hasil pembangunan renovasi dari 1935.
Pada tahap renovasi berikutnya, ditemukanlah prasasti itu dan dipasang pada tembok sisi dalam masjid hingga terlihat pada saat sekarang.
Penggunaan aksara Jawa adalah salah satu ciri khas Masjid Raudhatul Musyawarah. Ciri khas lainnya adalah bentuk bangunan masjid yang berbentuk persegi delapan (Oktagonal). Entah pada saat Bartholomeus Wardenar mendesain pembangunan apakah desain masjid Raudhatul Musyawarah mengacu pada Masjid Al Aqsa dari abad ke-7 di Yerusalem, yang juga berbentuk persegi delapan (Oktagonal).

Oktagon dan Meru

Perancangan masjid Raudhatul Musyawarah pada awalnya adalah bergaya campuran Jawa dan Eropa. Gaya Jawanya terlihat pada adanya 4 saka guru dan beratap meru tiga berundak njaba, tengah, njero. Sementara gaya Eropanya terlihat pada relung relung gotik, yang ada di dalam masjid. Gaya gothic pada awalnya terlihat pada kusen kusen jendela masjid. Aksentuasi Eropa juga tampak pada hiasan pada relung arc di dalam masjid.


Sementara kita ketahui bahwa bentuk oktagonal atau segi delapan memiliki makna simbolis dalam Islam, terutama dalam arsitektur dan ornamen. Oktagon seringkali menjadi dasar desain untuk kubah masjid dan pola-pola dekoratif yang melambangkan keselarasan, keseimbangan, dan transisi antara bumi (persegi) dan langit (lingkaran).

Itulah ciri khas Masjid Roudhotul Musyawaroh (Kemayoran). Yaitu Aksara Jawa, Meru berundak tiga dan bentuk Oktagon.
Masjid Simbol Harmonisasi
Masjid, yang dibangun pada tahun 1772 Tahun Jawa atau 1848 M, adalah simbol keserasian, keharmonisan dan kegotongroyongan antara penguasa pemerintah dan Umarah kaum Islam.
Pada saat pembangunan renovasi perluasan Masjid pada tahun 1935 – 1939 keterlibatan bangsa Islam, terutama umat Islam yang tinggal di sekitar Kemayoran, yaitu warga muslim di sekitar Kawatan dan Bubutan bergotong royong bahu membahu. Mereka yang kaya mendonasikan sejumlah dana. Mereka yang mempunyai bahan bangunan menyumbangkan material bangunan dan yang tidak memiliki keduanya menyumbangkan tenaga. Sementara biaya utama adalah oleh pemerintah.
Pemeliharaan Selanjutnya
Sekarang Masjid ini menjadi bukti sejarah peradaban bangsa Islam Surapringga (Surabaya). Kelestarian masjid harus tetap dijaga baik secara fisik maupun sosial budayanya yang menjadi sifat warga Surapringga. Harus tetap ada kolaborasi antara pemerintah dan umat dalam menjaganya sebagai cerminan dari semangat masjid.

Ada impian untuk merenovasi masjid agar bisa menampung umat muslim baik dalam kegiatan ibadah maupun berkegiatan sosial dan budaya. Berangkat dari namanya Raudhatul Musyawarah yang berarti masjid ini juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah atau majelis permusyawaratan. Memang secara historis masjid ini adalah tempat bermusyawarah dalam memakmurkan masjid masjid besar di Surabaya yaitu Masjid Kemayoran, masjid Ampel, masjid Peneleh dan masjid Rahmad.

Melihat peta lama Surabaya yang terbit pada masa kolonial, Masjid Raudhatul Musyawarah adalah masjid kabupaten (pemerintah) Surabaya, yang berada di alun alun yang secara tata ruang terdiri dari kampung Kauman (Kemayoran Kauman), masjid, alun alun, dan kediaman Bupati (Kabupaten), yang sekarang jadi Kantor Pos. (PAR/nng).