Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – B&B adalah Bahasa & Budaya, bukannya Bed & Breakfast. Dalam kesempatan ini, yang kita bahas adalah B & B, yang berarti Bahasa & Budaya. Dua unsur ini adalah sebuah keterkaitan, yang tak terpisahkan. Keterkaitan erat antara Bahasa dan Budaya menciptakan suatu hubungan simbiosis, yang mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang kedua aspek tersebut. Bahasa, sebagai cermin budaya, tidak hanya memindahkan kata-kata, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai, norma-norma, dan identitas suatu masyarakat.

Sebaliknya, budaya memainkan peran penting dalam membentuk dan mempengaruhi bagaimana bahasa digunakan, berevolusi, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pendidikan bahasa, pemahaman budaya bukanlah sekadar tambahan, melainkan inti dari pembelajaran. Budaya tidak hanya dianggap sebagai konteks untuk belajar bahasa, tetapi juga sebagai kunci untuk menggali makna yang lebih dalam dari setiap ungkapan dan frasa.

Menjelajahi budaya melalui bahasa membuka pintu menuju pengalaman belajar yang lebih menyeluruh, menghadirkan siswa pada realitas sosial dan nilai-nilai yang tercermin dalam struktur bahasa.
Menghadapi budaya melalui bahasa juga memiliki dampak positif pada kemampuan siswa dalam membaca dan memahami teks dengan lebih kritis. Mereka tidak hanya memahami kata-kata secara literal, tetapi juga menghargai konteks budaya yang melingkupi setiap kata.
Dengan demikian, siswa dapat mengembangkan pemahaman bahasa yang lebih kontekstual dan menjadikan mereka sebagai pembaca yang lebih cerdas dan kritis.
Pemahaman keterkaitan antara bahasa dan budaya juga membuka pintu bagi pengembangan keterampilan komunikasi lintas budaya yang efektif. Siswa menjadi lebih peka terhadap perbedaan budaya dan mampu berkomunikasi dengan lebih bijaksana di lingkungan multikultural.
Dengan cara ini, pendidikan bahasa tidak hanya menjadi pembelajaran kata-kata dan tata bahasa, tetapi juga perjalanan untuk memahami dan meresapi keanekaragaman budaya melalui penggunaan bahasa.
Bahasa, Budaya dan Sejarah.
Surabaya adalah wadah multikulturalisme. Terkait dengan bahasa dan budaya, yang memang sangat terkait erat dalam sejarah yang ada di kota ini karena bahasa adalah wadah utama untuk mewariskan nilai, tradisi, dan pengetahuan budaya antar generasi. Sementara sejarah adalah konteks yang membentuk bahasa dan budaya tersebut. Misalnya Pengaruh Peristiwa Besar, Perdagangan dan Migrasi.
Sejarah mencerminkan perkembangan bahasa, dan bahasa mencerminkan sejarah suatu bangsa, membentuk identitas kolektif dan persatuan yang terus beradaptasi seiring waktu, menjadikannya satu kesatuan tak terpisahkan dalam perjalanan peradaban manusia.
Secara singkat, bahasa adalah “pilar utama” yang menjaga, memperkuat, dan mewariskan budaya. Sementara sejarah adalah “konteks hidup”, yang membentuk bahasa dan budaya itu sendiri, menciptakan entitas yang saling menguatkan.
Sayang ada keterputusan pada penggunaan simbol bahasa Jawa, yang secara lokal kultural pernah digunakan di kota ini. Yaitu aksara Jawa. Ada kebiasaan penggunaan aksara Jawa yang terputus. Sementara pengguna bahasa Jawa (tutur) masih eksis sebagai bagian dari budaya lisan. Sementara budaya tulisnya tidak lagi menggunakan Aksara Jawa, melainkan aksara Latin yang pengaruhnya lebih populer.

Tidak hanya aksara Jawa, Aksara Latin dalam bahasa Belanda pun juga punah di kota Lama Surabaya (Belanda) karena juga sudah kehilangan penggunanya. Tidak ada lagi bangsa Belanda di zona Eropa Kota Lama Surabaya, meski jejaknya masih ada. Yaitu nama nama entitas di kawasan itu seperti “J.C. Van Drongelen & Hellfach” dan “Nederlandsch-Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij” di jalan Mliwis.

Perubahan pada bahasa itu juga karena sejarah dimana sudah tidak ada lagi pemukiman yang beretnis Belanda di Kota Lama Surabaya.
Ketika masih ada penutur bahasa Jawa, bahasanya masih lestari. Tetapi ketika sudah tidak ada lagi pengguna aksara Jawa, maka aksara Jawa mati. Sama halnya dengan ketika pengguna bahasa Belanda dan aksara latin untuk bahasa Belanda, maka kebiasaan menggunakan bahasa Belanda juga mati. Demikian dengan aksara Latin untuk bahasa Belanda. Perubahan ini karena faktor sejarah. (PAR/nng).
