Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Lomba menulis aksara Pegon sudah usai, tapi bekasnya belum selesai. Lomba itu membuka cakrawala tentang aksara Nusantara. Sebuah negeri, yang kaya warna, kaya aksara daerah.
Aksara Arab di pulau Jawa dan bahkan di beberapa daerah di Nusantara ini bukanlah berbahasa Arab. Tetapi berbahasa lokal seperti Jawa, Sunda, Melayu dan bahkan Indonesia.
Aksara ini selanjutnya umum disebut Aksara Pegon (Pego) atau Arab gundul. Arab gundul adalah sebutan untuk tulisan Arab, yang tidak menggunakan harakat (tanda baca vokal) dan sering ditemukan dalam kitab kuning, yaitu literatur klasik Islam.
Kitab kuning adalah sebutan untuk literatur klasik Islam, yang banyak dipelajari di pesantren. Disebut “kuning” karena kertas yang digunakan pada masa lalu berwarna kekuningan.
Mempelajari kitab kuning berarti menjaga Tradisi Pesantren, yang sudah berlangsung ratusan tahun dan telah menjadi identitas yang melekat. Di pondok pondok pesantren, para santri masih belajar membaca dan menulis aksara Pegon hingga sekarang.
Akulturasi Literasi
Akulturasi literasi dapat diartikan sebagai proses perpaduan unsur-unsur literasi dari budaya yang berbeda. Aksara Pegon bisa menjadi salah satu contohnya.
Keunikan aksara Pegon ini terletak pada kemampuannya sebagai akulturasi budaya literasi. Aksaranya Arab, bahasanya Jawa, Sunda dan Melayu termasuk Indonesia.
Sepintas Aksara Pegon adalah aksara Arab. Tidak salah. Tetapi aksara Pegon tidak berbahasa Arab. Jika dibacakan, terdengar bunyinya dalam bahasa daerah atau bahkan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia.
Lebih jelas ketika aksara ini dilombakan. Yaitu Lomba menulis aksara Pegon seperti yang baru saja terjadi di Masjid Kemayoran Surabaya pada Minggu (26/10/25). Para peserta, yang notabene adalah para santri dan santriwati, mengerjakan soal dari teks berbahasa Indonesia ke (transliterasi) Aksara Pegon. Hasilnya secara kasat mata seperti aksara Arab, yang berbahasa Arab. Tetapi tidak.
Menurut Gus Ahmad Yani, pengurus (bendahara) Masjid Kemayoran Surabaya bahwa aksara Pegon masih menjadi aksara komunikasi aktif, yang tidak hanya di lingkungan para santri, tapi dalam surat menyurat antar pengurus komunitas dan lembaga Islam.
“Sampai sekarang kami masih menggunakan aksara Pegon dalam surat menyurat”, kata Gus Yani sambil menunjukkan sepucuk surat yang dikirim secara online kepadanya.
Amplop itu full beraksara Pegon, yang isinya adalah resepsi peringatan momen momen penting Islam dan orang yang dimuliakan. Amplop itu berbunyi:

1). Maulid Nabi Muhammad pada peringatan hari kelahiran manusia terbaik, semoga Allah memberkahi beliau dan keluarganya, 2). Haul Sultan para Wali, junjungan kami Syekh Abdul Qadir Jailani. 3). Haul Syekh Muhammad Utsman al-Ishaqi, 4). Haul Syaikhah Hajjah Siti Qomariyah, 5). Haul Syekh Hajjah Siti Khadijah, 6). Haul Syekh Haja Afifa al-Asma, 7). Haul Syekh Ahmed Fath al-Arifin al-Ishaqi, 8). Haul Syekh Muhammad Minan al-Rahman al-Ishaqi, 9). Haul Syekh Ahmad Qomarul Anam al-Ishaqi, 10). Haul Syekh Ahmad Asrori al-Ishaqi, 11). Haul Syekh Haja Lutfia al-Ishaqi, 12). Haul Syekh Muhammad Anshorullah al-Ishaqi, 13). Haul orang-orang terkasih kami, para syekh kami, para ulama kami, hamba-hamba Allah yang saleh, dan arwah ayah dan ibu kami, dan semua Umat Muslim, laki-laki dan perempuan, dan umat beriman, laki-laki dan perempuan, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, di segala penjuru.
Semoga Allah meridhoi mereka, mereka, dan kita semua, serta memberi kita manfaat dari ilmu, berkah, dan kemurahan hati mereka, dan melimpahkan rahasia dan cahaya mereka di kedua dunia. Amin.
Kepada Yth : Agus H. Ahmad Yani, Kawatan Gang 5, Surabaya.
Dalam lomba yang baru usai, kertas soalnya yang bertuliskan Fatwa Jihad, bertuliskan bahasa Indonesia dan harus ditransliterasi ke Aksara Pegon.

Bagi kebanyakan orang yang belum paham betul aksara Pegon, maka mereka akan menganggap Aksara Arab, yang berbahasa Arab.
Aksara Arab adalah sistem penulisan dasar (huruf hijaiyah), sedangkan aksara Pegon adalah aksara Arab, yang dimodifikasi untuk menulis bahasa lokal seperti Jawa, Sunda, atau Melayu (Jawi) serta Indonesia. Perbedaan utamanya adalah penggunaan huruf vokal dan tambahan huruf untuk mengakomodasi bunyi bahasa bahasa daerah. (PAR/nng).
