Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Aksara Jawa layak sebagai penyanding wajib berbahasa Jawa karena aksara Jawa memiliki nilai historis, budaya, dan filosofis yang mendalam, serta berperan penting dalam pelestarian bahasa dan budaya Jawa.
Ketika pemerintah kota Surabaya melalui Dinas Pendidikan membuat kebijakan wajib berbahasa Jawa bagi siswa SD dan SMP dalam program “Kemis Mlipis”, kiranya layak ada pembelajaran muatan lokal Aksara Jawa. Selama ini ada beberapa sekolah yang telah mengajarkan Aksara Jawa, tetapi masih belum menjadi kewajiban. Ini tergantung dari kemampuan dan keterampilan guru mengajar bahasa Jawa. Bagi mereka yang bisa, mungkin akan mengajarkan. Sementara bagi yang belum bisa, tentu tidak mengajarkan.

Pembelajaran aksara dan bahasa Jawa bagi anak anak ini penting. Karena disana ada peningkatan kemampuan berkomunikasi. Pembelajaran bahasa Jawa, terutama dalam bentuk krama, membantu anak-anak belajar berkomunikasi dengan sopan dan santun. Hal ini penting dalam interaksi sosial dan pengembangan karakter anak.
Selain itu ada upaya pengembangan identitas budaya. Bahasa dan aksara Jawa berperan penting dalam membentuk identitas budaya anak. Dengan mempelajari bahasa dan aksara daerahnya, anak-anak dapat merasa lebih terhubung dengan akar budayanya dan memiliki rasa bangga sebagai bagian dari masyarakat Jawa.
Adalah saatnya kembali ingat dengan aksara Jawa, yang saat ini bagai aksara asing yang lebih asing daripada aksara asing sendiri. Karenanya, mengajarkan Aksara Jawa mulai saat ini memiliki alasan yang tepat. Yaitu menjadi pelengkap kewajiban berbahasa Jawa agar dapat berbahasa Jawa yang baik secara sosiolinguistik.
Bahasa terkait dengan simbol lisan, yaitu bunyi-bunyi yang diucapkan dan memiliki makna. Sementara itu, aksara adalah simbol-simbol tulis yang digunakan untuk merepresentasikan bahasa lisan tersebut dalam bentuk tertulis.
Aksara, selain sebagai sistem tulisan, juga memiliki kaitan erat dengan kesantunan berbahasa. Penggunaan aksara yang tepat, terutama dalam konteks bahasa, yang memiliki tingkatan bahasa (seperti bahasa Jawa), dapat menunjukkan tingkat kesopanan dan penghormatan kepada lawan bicara (sosiolinguistik).
Tingkat kesopanan dalam bahasa Jawa, yang dikenal sebagai “unggah-ungguh”, tercermin dalam penggunaan ragam bahasa yang berbeda, yaitu Ngoko, Madya, dan Krama, dan ini bisa dilihat dalam aksara Jawa.
Aksara Jawa tidak secara langsung menunjukkan tingkat kesopanan, tetapi kosakata dan struktur kalimat yang digunakan dalam setiap tingkatan bahasa Jawa yang menggunakan aksara jawa tersebutlah yang menunjukkan tingkat kesopanan
Contohnya:
Ngoko: “Kowe arep mangan apa?” (Kamu mau makan apa?)
Madya: “Sampeyan ajeng nedha menapa?” (Anda mau makan apa?)
Krama: “Panjenengan badhe dhahar menapa?” (Anda hendak bersantap apa?)
Jadi, meskipun aksara Jawa digunakan untuk menulis semua tingkatan bahasa, penggunaan kosakata dan struktur kalimat yang berbeda dalam setiap tingkatan itulah yang mencerminkan tingkat kesopanan dalam bahasa Jawa. (PAR/nng).