Aksara Jawa Hiasi Peken Madanten

Aksara Budaya

Rajapatni.com: SURABAYA – Sebuah desa di bagian hilir Bengawan Sala di kabupaten Gresik, yang sekarang dikenal dengan nama Bedanten, adalah salah satu Naditira Pradesa (desa di tepian sungai). Nama Madanten tercatat dalam sebuah prasasti yang bernama Prasasti Canggu, yang dikeluarkan Raja Hayam Wuruk Majapahit pada 1358 M.

Sekarang bernama Bedanten. Bedanten ini berada di Kecamatan Bungah, Kabupaten Gresik, provinsi Jawa Timur. Secara berurutan nama Madanten tersebut (tertulis) setelah nama Syurabhaya (Surabaya) yang berada di bagian hilir sungai Brantas yang berujung di Sungai Surabaya.

Setelah dari Surabaya, lalu masuk lagi menuju pedalaman Jawa melalui pintu masuk Madanten yang merupakan hilir Bengawan Sala. Madanten adalah gerbang menuju pedalaman Jawa hingga berhulu di Jawa Tengah.

Secara struktur tata ruang, yang mulai terbentuk di era kolonial, masih kelihatan hingga sekarang. Rumah rumah berarsitektur Loji tapi berbahan kayu dengan dinding terbuat dari papan papan kayu. Struktur ini mengingatkan kota Paramaribo (Stad Van Paramaribo) di Suriname.

Dalam perkembangan zaman, Madanten (Bedanten) tidak lebih berkembang dibandingkan kota Gresik, yang menjadi rumah peradaban yang lebih maju dan berkembang. Termasuk bangunan bangunan yang ada. Terbuat dari struktur batu bata. Bedanten tetaplah sebagai desa, Madanten.

Meski demikian jejak peradaban kunonya masih menghiasi. Kehidupan tradisional masyarakatnya menjadi warna peradaban desa di tepian sungai (Naditira Pradesa). Sayang semakin modern zaman, kehidupan tradisionalnya semakin tergerus.

Ramainya pengunjung Peken Bedanten. foto: bas

Semakin tidak ada jenjang antara desa dan kota. Baik secara fisik maupun tradisi masyarakatnya. Dalam rangka memperingati HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia ini, masyarakat dan pemerintah setempat menyelenggarakan Peken Madanten. Acara ini digelar pada Sabtu (9/8/25).

Peken Madanten ramaikan HUT Ke 80 Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Foto: bas

Dengan mengusung tema Peken Madanten (Pasar Madanten), masyarakat dan pemerintah desa Bedanten berupaya melestarikan budaya lokal tempo doeloe. Salah satunya adalah menghadirkan jajanan tradisional seperti Klanting, gethuk, lemet, menyok, bubur sagu serta polo Pendem.

Menurut Kepala Desa Bedanten, Abdul Majid, gagasan peringatan dengan konsep tempo dulu ini mengalir saja.

Abdul Majid, Kepala Desa Bedanten. Foto: ist

“Gagasan ini mengalir dengan iringan dukungan para pihak mulai masyarakat, lembaga dan organisasi masyarakat, RT/RW hingga pemerintahan desa Bedanten”, jelas Abdul Majid.

Berkonsep tempo dulu, mulai dari penataan dan tampilan stand stand hingga pengunjung ber dress code tempo dulu dan tradisional.

 

Penulisan Aksara  Jawa

Sepenggal tulisan aksara Jawa turut meramaikan Peken Bedanten. Foto: ist

Bahkan hingga model komunikasi tulis menggunakan aksara Jawa. Peken Bedanten ini menjadi media yang baik dalam memperkenalkan budaya lokal termasuk komunikasi tulis lokal. Yaitu aksara Jawa.

Penulisan aksara Jawa belum umum. Menurut Abhiseka Basori, pemerhati sejarah dan budaya desa Bedanten, bahwa dari sekian stand dagang hanya ada satu stand yang menggunakan penulisan aksara Jawa.

“Cuman ada satu stan yang ada aksara jawanya”, tutur Abhiseka.

Meski demikian acara ini sudah menjadi wadah ekspresi dan pelestari budaya Jawa.

Sementara itu menurut Kepala Desa Madanten, Abdul Majid, desa Madanten juga mempunyai museum sederhana yang bertujuan menampung dan menyimpan temuan temuan dari peninggalan masa lalu dan museum ini menjadi etalase sejarah klasik desa Bedanten.

Museum ini bernama “Museum Madanten Nusantara 1358 M”. Museum ini menjadi media dakwah untuk uri uri sejarah yang bermanfaat bagi kawula muda saat ini dan mendatang. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *