Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – ꧌ꦱꦼꦧꦸꦮꦃꦧꦸꦏꦸꦄꦤꦏ꧀꧍ Sebuah buku cerita anak ditulis di Belanda dengan setting pedesaan di pulau Jawa, Indonesia. ꧌ꦱꦁꦥꦼꦤꦸꦭꦶꦱ꧀꧍ Sang penulis adalah artis terkenal Belanda, yang lahir di Surabaya pada 1943. Namanya ꧌ꦮꦶꦠꦼꦏꦼ ꦮ꦳ꦺꦴꦤ꧀ ꦝꦺꦴꦉꦠ꧀꧍ Wieteke Van Dort. Ia terkenal dengan nama panggung “Tante Lien”. Tahun lalu, 15 Juli 2024 Wieteke meninggal dunia di kotanya ꧌ꦝꦺꦤ꧀ ꦲꦴꦏ꦳꧀꧍ Den Haag dalam usia 81 tahun.

Wieteke Van Dort sejak usia 14 tahun mulai tinggal di ꧌ꦧꦼꦭꦟ꧀ꦝ꧍ Belanda. Selama 14 tahun sejak lahir di Surabaya, ia tinggal di ꧍ꦯꦹꦫꦨꦪ꧍ Surabaya. Kemudian pada 1957 ia dan keluarga pergi berlibur ke Belanda. Karena liburan berakhir, ia dan keluarga hendak kembali ke Indonesia, namun tidak bisa pulang ke Surabaya karena ꧌ꦥꦼꦫꦸꦧꦲꦤ꧀ꦥꦺꦴꦭꦶꦠꦶꦏ꧀꧍ perubahan politik di tanah air. Selama ia tinggal di Belanda, ꧌ꦕꦸꦫꦲꦤ꧀ꦲꦠꦶꦚ꧍ curahan hatinya masih pada Indonesia. Bapaknya meninggal di Surabaya dan dimakamkan di pemakaman Ereveld ꧌ꦏꦼꦩ꧀ꦧꦁꦏꦸꦤꦶꦁ꧍ Kembang Kuning Surabaya.
Tak heran karya karya seninya ꧌ꦩꦼꦔ꧀ꦒꦩ꧀ꦧꦂꦑꦤ꧀꧍ menggambarkan tentang Indonesia dalam balutan budaya Jawa. Dalam berbagai show di Belanda pada masa hidupnya yang ꧌ꦧꦼꦂꦏꦫꦶꦂ꧍ berkarir sebagai artis, ia tak lepas dari berbusana kebaya dan bersanggul. Lirik lirik lagu yang diciptakan menggambarkan ꧌ꦠꦤꦃꦄꦲꦶꦂ꧍ tanah air. Bahkan cerita cerita yang ia tulis berlatar belakang alam dan budaya tanah air.

Salah satunya adalah buku yang berjudul “Bung Bebek en de Princess”, yang menceritakan petualangan Sang Dewi Melati, yang dengan keteguhan hati namun tetap penuh ꧌ꦏꦼꦊꦩ꧀ꦧꦸꦠꦤ꧀꧍ kelembutan sebagai puteri Jawa. Ini terlihat dari busana kebayanya. Ia bagaikan Princess Warrior, tegas tapi tetap ꧌ꦥ꦳ꦺꦩꦶꦤꦶꦤ꧀꧍ feminin.
Cerita ini kemudian diterbitkan oleh mantan produser musiknya ꧌ꦩꦶꦏ꦳ꦶꦭ꧀ ꦌꦝꦸꦮꦉꦢ꧀꧍ Michiel Eduard dan tim, yang salah satunya seorang puteri Jawa, yang bernaung di bawah komunitas aksara Jawa Surabaya. Namanya ꧌ꦅꦠꦯꦹꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo, sebagai pegiat aksara Jawa dalam komunitas ꧌ꦥꦸꦫꦷꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ꧍ Puri Aksara Rajapatni.
Karena ꧌ꦏꦼꦠꦿꦩ꧀ꦥꦶꦭꦤ꧀꧍ keterampilan itulah, Ita diajak bergabung dalam tim untuk ꧌ꦩꦼꦤ꧀ꦠꦿꦤ꧀ꦱ꧀ꦭꦶꦠꦼꦫꦱꦶ꧍ mentransliterasi cerita yang ditulis dalam bahasa Belanda ke dalam ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa. Rencananya buku berbahasa Belanda dan beraksara jawa ini akan diterbitkan di Surabaya dengan agenda peluncuran pada awal bulan ꧌ꦤꦺꦴꦮ꦳ꦺꦩ꧀ꦧꦼꦂ꧍ November 2025.
꧌ꦥꦼꦤꦼꦂꦧꦶꦠꦤ꧀꧍ Penerbitan dalam bahasa Belanda dan aksara Jawa, yang berbalut dalam kolaborasi budaya ini adalah yang pertama pasca ꧌ꦏꦼꦩꦼꦂꦞꦺꦏꦄꦤ꧀꧍ kemerdekaan Republik Indonesia 1945.
Sebelum itu, penerbitan atau ꧌ꦕꦺꦠꦏꦤ꧀꧍ cetakan beraksara Jawa di Belanda sudah umum, tapi sifatnya adalah bukan ꧌ꦏꦺꦴꦭꦧꦺꦴꦫꦱꦶ꧍ kolaborasi. Kali ini di era modern, ada penerbitan yang ditulis di Belanda dan dicetak di Jawa serta ꧌ꦝꦶꦭꦸꦚ꧀ꦕꦸꦂꦏꦤ꧀꧍ diluncurkan di Surabaya. Sebuah proses anjangsana.

Bung Bebek en de Prinses adalah buku cerita anak (Story book of children) yang di desain ꦩꦼꦤꦫꦶꦏ꧀꧍ menarik colorful dengan gambar gambar suasana ꧌ꦥꦼꦝꦺꦱꦄꦤ꧀꧍ pedesaan dengan sawah sawah yang menjadi kecintaan Wieteke Van Dort. Desain gambar ini dikerjakan oleh ꧌ꦫꦶꦏ꧀ ꦮ꦳ꦺꦴꦤ꧀ ꦝꦼꦂ ꦧꦸꦉꦃ꧍ Rik van der Burg. Buku ini menjadi buku yang dikerjakan ꧌ꦭꦶꦤ꧀ꦠꦱ꧀ꦤꦼꦒꦫ꧍ lintas negara.
꧌ꦝꦸꦏꦸꦔꦤ꧀꧍ Dukungan ke Unesco dan Diplomasi Budaya.
꧌ꦩꦼꦭꦭꦸꦮꦶ꧍ Melalui buku cerita anak ini memang ada upaya membawa dan kembali ꧌ꦩꦼꦔꦼꦤꦭ꧀ꦏꦤ꧀꧍ mengenalkan aksara Jawa ke dalam skala global. Buku ini juga ꧌ꦩꦼꦤꦸꦤ꧀ꦗꦸꦏ꧀ꦏꦤ꧀꧍ menunjukkan bahwa penulisan aksara Jawa (tradisional) masih dipakai dan sekaligus dukungan untuk nominasi praktik penulisan ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦠꦿꦝꦶꦱꦾꦺꦴꦤꦭ꧀꧍ aksara tradisional (Jawa) ke UNESCO.

Bukan tidak mungkin ꧌ꦧꦸꦏꦸꦅꦤꦶ꧍ buku ini, selain dikonsumsi (dibaca) di Indonesia dan Belanda, juga diminati di ꧌ꦱꦸꦫꦶꦤꦩꦼ꧍ Suriname. Sebuah negara bekas jajahan Belanda yang masyarakatnya bicara dalam bahasa Belanda ꧌ꦠꦼꦂꦩꦱꦸꦏ꧀꧍ termasuk ada warga negara yang dari ꧌ꦌꦠ꧀ꦤꦶꦱ꧀ꦗꦮ꧍ etnis Jawa dan bicara dalam bahasa Jawa.
Praktik penulisan ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍aksara Jawa juga diajukan bersama Indonesia dan Suriname ke UNESCO. ꧌ꦩꦼꦭꦶꦲꦠ꧀ꦥ꦳ꦏ꧀ꦠꦅꦤꦶ꧍ Melihat fakta ini, buku ini mempertegas fakta bahwa budaya dan ꧌ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ꧍ aksara Jawa menjadi jembatan diplomasi antar negara selain memperkuat ꧌ꦅꦝꦺꦤ꧀ꦠꦶꦠꦱ꧀꧍ identitas bangsa. (PAR/nng)