Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Kota Surabaya adalah satu satunya dari 557 pemerintah daerah di Indonesia, yang memasukkan Aksara sebagai Object Pemajuan Kebudayaan (OPK) dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Jumlah ini dihitung dari total 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 103 kota yang ada di Indonesia, yang merupakan unit otonom dalam sistem pemerintahan daerah negara kesatuan.
Daerah lain seperti DIY, Jawa Tengah, Bali dan Jawa Barat memang mengatur tersendiri tentang Aksara, selain Bahasa dan Sastra. Tetapi Surabaya atas usulan dalam Reperda Inisiatif Dewan menambahkan Aksara sebagai Object Pemajuan Kebudayaan (OPK).
Usulan ini bukannya “melawan” undang undang yang ada di atasnya, UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, tetapi justru melengkapi berdasarkan semangat berani karena kebenaran/kesucian. Ini selaras dengan semboyan Surabaya yang telah lama ada “Sura ing Baya”, yang pemaknaan itu diambil berdasarkan prasasti Canggu (1358 M) yang menyebut nama Syurabhaya. Syurabhaya (ꦯꦹꦫꦨꦪ) artinya “Berani Menghadapi Bahaya/tantangan”.
Makna ini muncul dalam beberapa peristiwa penting dan bersejarah sesudahnya mulai dari perang Raden Trunojoyo (1677 M), perang Adipati Jayapuspita (1718 – 1722 M) dan Perang Demi Kedaulatan (1945 M). Kiranya semangat “SURA ING BHAYA”, berani karena benar dan suci, harus terus menjadi landasan warga Surabaya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berani karena benar dan suci seperti makna MERAH PUTIH. Sikap ini menggambarkan keberanian yang didasarkan pada kebenaran dan kesucian, sebagaimana dilambangkan oleh bendera Indonesia, di mana warna merah melambangkan keberanian, dan warna putih melambangkan kesucian dan kebenaran.
Di era kekinian, sikap ini sebagaimana juga ditunjukkan melalui Raperda Inisiatif Dewan, yang menambahkan Aksara sebagai Object Pemajuan Kebudayaan (OPK). Penambahan aksara sebagai Objek Pemajuan Kebudayaan ini sebagaimana disampaikan oleh Ketua Panitia Khusus DPRD Kota Surabaya, dr. Zuhrotul Mar’ah Laila dalam sebuah program televisi dengan link sebagai berikut. https://youtu.be/bE64MZbPi50?si=cuIkAkP7UQzq1rIV

Dalam hal ini aksara dipandang sebagai fondasi peradaban, yang memungkinkan berkembangnya tradisi lisan, manuskrip, bahasa, dan pengetahuan tradisional lainnya sebagaimana telah disebut dalam 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dalam UU. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Aksara Sumber Sejarah Van der Tuuk.

Aksara sebagai Object pun juga ditunjukkan dalam riwayat Herman N. Van der Tuuk (abad 19 M), seorang peletak dasar bahasa bahasa daerah di Nusantara. Pada masa abad 19 itu ketika ia meneliti bahasa bahasa daerah, ia tidak lepas dari sumber yang bernama manuskrip kuno serta prasasti untuk mempelajari bahasa. Salah satunya adalah bahasa Kawi atau Jawa Kuno yang digunakan oleh leluhur dalam kurun waktu abad 9 hingga 15. Sementara Herman van der Tuuk sendiri hidup di abad 19.
Di abad 19, tidak ada lagi orang berbahasa Kawi dalam keseharian. Ia tidak mendengarkan lagi bagaimana bunyi Bahasa Kawi diucapkan. Melalui prasasti beraksara Jawa Kuno lah (Kawi), Van der Tuuk bisa mengenal bahasa Kawi, bagaimana bunyi bahasa Kawi.
Dari bahasa Kawi kemudian turun menjadi bahasa Jawa, Bali dan lainnya di Nusantara. Untuk mencari sumber bahasa bahasa itu, aksara digunakan sebagai pegangan. Melalui tulisan aksara, bisa diketahui dan dibedakan bagaimana bunyi kosa kata-kosa kata dari bahasa itu diucapkan.
Misalnya penulisan ꦭꦺꦴꦫꦺꦴ berbunyi “loro” berarti DUA. Sedangkan penulisan ꦭꦫ berbunyi “lara” berarti SAKIT. Itulah cara mempelajari bahasa yang bersifat lisan dengan menggunakan aksara yang bersifat tulis.
Karenanya terlihat beda antara bahasa dan aksara, tapi saling berkait. Bahasa adalah sistem lambang bunyi, yang arbitrer (sewenang-wenang) dan bersifat konvensional (berdasarkan kesepakatan). Sementara Aksara adalah sistem tanda grafis (simbol visual) yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan mewakili bahasa atau ujaran.
Kebetulan makam peletak dasar linguistik modern (bahasa bahasa Nusantara), Herman van der Tuuk itu, ada di Surabaya. Masyarakat Surabaya sekarang tidak bisa melihat dan bertemu Van der Tuuk, tapi bisa melihat makamnya dan hasil karya karya penelitiannya baik berupa buku, Kamis dan bahkan Bible.
Gagasan Perbaikan Makam Van der Tuuk

Makam Herman van der Tuuk di pemakaman Eropa Peneleh dalam kondisi yang memprihatinkan. Karenanya perlu perbaikan. Kondisi ini menjadi perhatian yayasan sosial di Belanda, Stichting Anak Mas yang berkolaborasi dengan komunitas aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni, untuk rencana perbaikan demi penyelamatan dan pelestarian.
Tidak hanya pelestarian fisik bangunan, tetapi pelestarian nilai yang meliputi Aksara Jawa sebagai Objek tak benda (intangible Object).
Semua fakta sejarah di atas adalah dasar yang telah menjadikan sikap berani untuk menambahkan Aksara sebagai Object Pemajuan Kebudayaan (OPK). (PAR/nng).