Cagar Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Pada 2021, saya mendengar bahwa jika gedung Singa itu dijual dan jatuh ke tangan pihak yang kurang paham tentang pentingnya menjaga bangunan cagar budaya, maka di dalam gedung itu mungkin akan dilakukan penyesuaian sesuai kebutuhan pihak yang bersangkutan. Misalnya ada tembok yang akan dijebol untuk memberikan kesan luas.
Karena pertimbangan itulah, maka saya menulis artikel di sebuah media online, yang intinya memberitahukan bahwa siapapun yang akan mengelola gedung Singa setelah pelimpahan atas penjualan dari sebuah badan BUMN, maka gedung ini kurang menguntungkan untuk kegiatan bisnis. Karena gedung ini tidak memiliki akses fasilitas parkir.
Selain itu menurut beberapa pedagang bunga hias, yang ada di depan gedung (sebelum dipindah ke selatan), mereka sering melihat kejadian kejadian ganjil di lantai dua gedung. Termasuk penuturan penjaga gedung dimana dia harus sudah keluar gedung sebelum Maghrib (surup) tiba. Ditambah pengalaman penulis ketika liputan video untuk program sejarah dan budaya televisi bahwa dia mengalami hal ganjil di ruang terbuka belakang.
Setelah itu proses penjualan melalui lelang memang berhenti. Tidak diketahui alasan pastinya. Akhirnya gedung tidak jadi dijual, melainkan diserahkan kepada anak perusahaan atau mitra perusahaan, yang juga bergerak di bidang asuransi.
Itu semua karena ada kekhawatiran bahwa gedung akan “dijahili” oleh pengelola yang dikhawatirkan kurang paham akan pentingnya pelestarian bangunan cagar budaya. Apalagi gedung cagar budaya seperti Gedung Singa di jalan Jembatan Merah Surabaya.
Istimewa

Seperti diketahui gedung karya arsitek modern HP Berlage ini sangat istimewa karena merupakan karya yang reformis pada masanya (awal abad 20), yang berani mengusung arsitektur modern yang berbeda dari bangunan di sekitarnya, serta menampilkan sintesis unik antara gaya Eropa dan Nusantara.
Karena keistimewaan inilah pemerhati cagar budaya (heritage) dari Belanda membuat memorabilia dalam bentuk buku yang berjudul (Berlage di Nusantara). Selain mengisahkan perjalanan Berlage ke Nusantara di tahun 1923, buku ini juga mengangkat hal Ikhwal tentang gedung yang menjadi ikon kota Surabaya.
Para pemerhati Berlage dari Belanda dalam naungan organisasi TiMe Amsterdam ini selalu mampir dan melihat gedung Singa setiap datang ke Surabaya. Rencananya, berdasarkan studi yang sedang mereka lakukan, akan diterbitkan rilis ilmiah tentang fakta orang orang mulai kuli, tukang hingga mandor, yang membangun Gedung Singa pada 1901. Mereka adalah orang orang lokal.
Dinodai

Ketika ternyata Gedung Singa ini mendapat noda (dinodai), yang niatnya memperbaiki agar tampil lebih bagus, tapi justru malah menyakiti. Ada penggunaan slimar galvalum pada bingkai jendela di depan bangunan. Tampilannya memang kelihatan mencolok. Bahkan ada seorang wisatawan, yang diduga turun dari kapal pesiar pada 24 Desember 2025, merasa terganggu ketika hendak memfoto bangunan. Ada silau yang memancar dari bingkai galvalum.


Ada pertanyaan yang keluar dari pemerhati A. Hermas Thony begitu mendengar tentang hal ini: apakah tindakan itu tidak dikonsultasikan dulu ke TACB? Perbaikan pada sepasang slimaran jendela depan memang kecil, tapi sekecil apapun harus prosedural karena bangunan itu adalah cagar budaya. Apalagi dampaknya mengganggu penampilan sosok gedung itu sendiri.
Sudah Lebih Sebulan
Sejak awal diketahui pada 23 November 2025 hingga artikel ini ditulis pada 24 dan 25 Desember 2025, berarti sudah lebih dari satu bulan “penodaan” itu mencederai Bangunan dan mengganggu.
Akan ada langkah apa untuk menyikapi ini? (PAR/nng)
